Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk

By Utomo Priyambodo, Kamis, 25 Februari 2021 | 08:00 WIB
Buah pala. (Pixabay/fietzfotos)

Nationalgeographic.co.id—Dahulu kala, buah pala dari Kepulauan Banda di Maluku adalah rempah-rempah yang paling langka di dunia. Buah ini dihasilkan dari pohon-pohon di hutan kecil. Tinggi pohonnya sekitar 18 meter. Tanaman ini tumbuh baik di bawah keteduhan pohon tinggi lainnya.

Sejarah pala dari Banda ini begitu panjang dan mengesankan. Menjelang abad ke-6, rempah-rempah ini sudah mencapai Byzantium, 12 ribu kilometer jauhnya dari Banda.

Pada tahun 1000 Masehi, seorang dokter dari Persia, Ibnu Sina, menulis tentang "jansi ban" atau "kacang dari Banda", seperti dijelaskan oleh Indah Meitasari, dosen Program Studi Pendidikan Geografi FKIP UHAMKA, dalam presentasinya. Para pedagang Arab sudah begitu lama memperdagangkannya dan mengirimnya ke Venesia untuk kemudian dikirim dan dihidangkan di meja-meja para bangsawan Eropa.

Harga pala di Eropa kala itu sangatlah fantastis. Pada abad ke-14, di Jerman disebutkan bahwa satu pon atau sekitar setengah kilogram pala dihargai setinggi "seven fat oxen", atau "tujuh sapi jantan dewasa yang gemuk".

Baca Juga: Pala dan Cengkih, Rempah Nusantara yang Menjadi Primadona di Maluku

Peta "Moluccae Insulae Celeberrimae" (Kepulauan Maluku nan Sohor), teknik litografi oleh Jodocus Hondius. Peta ini dibeli oleh kartografer asal Belanda, Willem Janzoon Blaeu pada 1629, sekitar seabad lebih setelah Portugis menemukan Kepulauan Rempah. (Willem Janzoon Blaeu)

Berkat pala ini, nama Banda jadi mendunia. Jika bukan karena buah Pala, bisa jadi Kepulauan Banda takkan pernah terdengar namanya. Pala adalah jiwa, sejarah, dan ekonomi Kepulauan Banda. Selama berabad lamanya, inilah satu-satunya tempat di dunia yangmenghasilkan buah pala, dan dikirim jauh sekali ke berbagai belahan dunia.

Perburuan akan asal-usul pala telah mendorong terbentuknya dunia perdagangan modern. Pada 1453, Kekaisaran Turki Usmani menyerang dan mengalahkan Konstantinopel (kini Istanbul), dan kemudian mengembargo perdagangan yang melewati daerah baru kekuasaannya. Selama ratusan tahun sebelumya daerah itu telah menjadi tempat para pedagang Arab lewat untuk mengirim pala ke Venesia.

Embargo ini kemudian menghentikan suplai pala ke Eropa. Inilah yang membuat para pedagang dan pengembara lautan Eropa mencari sendiri asal-usul buah pala yang selama ini sering disebut sebagai fabled land atau negeri dongeng, melalui rute ke timur.

Baca Juga: Cengkih Ternate, Keuntungan yang Menggiurkan Para Penjelajah Samudra

Sebuah ruangan di bawah bastion Fort Tolucco yang diduga sebagai gudang mesiu. Fransesco Serao disebut-sebut sebagai orang Portugis yang memprakarsai pendirian benteng di pesisir Pulau Ternate ini. Sejarah penjelajahan mencatat bahwa Serao adalah orang Portugis pertama yang berhasil menemukan Kepulaan Rempah. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Christoper Columbus berlayar menyeberangi Atlantik untuk mencari jalan ke India, lalu Vasco de Gama mengitari Cape of Good Hope pada 1497, dan kru kapalnya turun dari kapal sambil menangis berteriak "Demi Yesus dan rempah-rempah!"

Alfonso de Albuquerque menyerang pulau-pulau di Kepulauan Maluku, termasuk Banda, pada 1511. Dia membangun benteng-benteng untuk mengkonsolidasikan monopoli atas perdagangan pala hingga seabad kemudian.

Pada tahun ahun 1605, Belanda datang untuk menyingkirkan Portugis setelah menaklukkan Ambon. Untuk memonopoli perdagangan pala dan bunga pala, Perusahaan Dagang Hindia Belanda atau yang dikenal dengan nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) membangun pos perdagangan di Banda.

VOC juga membuat perjanjian dengan warga Banda yang mengharuskan warga untuk menjual pala dan bunga pala hanya kepada VOC secara eksklusif. Tetapi warga Banda masih tetap menjual hasil buminya kepada pedagang dari Jawa, Makassar, dan Inggris. VOC berusaha menggunakan kekuatan dan diplomasi di selama bertahun-tahun berikutnya guna memperoleh kekuasaan atas Banda sepenuhnya.

Baca Juga: Merapah Rempah: Mengungkap Narasi Asal-Usul Kesejatian Indonesia

Peta Poulo Ron, Poulo Ay, Banda yang dibuat sekitar 1660. Peta ini menunjukkan bagan navigasi di dalam area piagam VOC. British Library membeli atlas dari perpustakaan kolektor Haarlem Van der Willigen pada 1875. Atlas terdiri atas 49 bagan dan pemandangan yang digambar tangan, semuanya dalam warna. (British Library London/Atlas Mutual Heritage)

Bersamaan dengan kekuasan VOC di Banda, Inggris datang untuk mendirikan koloni di pulau-pulau terpencil yaitu Pulau Run dan Ay pada tahun 1616. Mengetahui hal tersebut, VOC merasa terancam dan menganggap bahwa Inggris berupaya untuk memonopoli perdagangan pala dan bunga pala serta mengusir VOC.

Berselang lima tahun kemudian, VOC berhasil menguasai Banda dengan cara mengirim pasukan beranggotakan lebih dari 2.000 tentara. Mereka, dipimpin oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, membunuh ribuan warga Banda yang berusia di atas 15 tahun, hingga akhirnya tersisa 600 jiwa.

Berkurangnya populasi ini menjadi kesempatan bagi VOC untuk menegakkan sistem perbudakan di Banda. Belanda dan Inggris terus terlibat dalam pertempuran selama 50 tahun karena Belanda ingin sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda, tapi masih ada Inggris di Pulau Run dan Ay.

Hingga akhirnya, keduanya sepakat untuk berkompromi dan tukar guling dalam Perjanjian Breda pada 1667. Inggris bersedia memberikan Pulau Run ke Belanda, sebagai gantinya, Belanda menyerahkan Pulau Manhattan di New York. Perjanjian ini memuluskan monopoli VOC Belanda atas perdagangan pala hingga berabad-abad lamanya.