Apa Saja Sukacita dan Nestapa Berhaji pada Zaman Hindia Belanda?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 19 April 2021 | 07:00 WIB
Umat muslim berkumpul di depan ratusan tenda di kota suci Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji (Yunaidi Joepoet)

Tindak pengakuan jabatan sering dilakukan pada periode 1600-an, ketika penguasa setempat—terutama kesultanan di Jawa—berangkat haji agar mendapat restu sebagai haji. Sedangkan penggunaan untuk mendapatkan status jabatan politik maupun pandangan masyarakat masih berjalan hingga kini.

Pada masa Hindia Belanda, pemerintah memfasilitasi ibadah haji melalui departemen kebijakan sipilnya. Hal itu dingkap oleh Ismail Hakki Goksoy (2002), karena pemerintah mencegah pembelotan yang dilakukan umat Muslim.

Rupanya, keberadaan haji juga sangat berperan dalam peningkatan kualitas Islam di Hindia Belanda, tulis Huub de Jonge di bukunya, Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).

Meski secara strata sosial Bumiputera dianggap rendah daripada pemuka agama Muslim-Arab, mereka berkualitas saat berdakwah karena mengikuti pembelajaran agama bertahun-tahun di tanah suci.

Berdasarkan data statistik Jacob Vredenbregt dalam The Haddj: Some of its features and functions in Indonesia, berhaji bagi masyarakat Muslim di Hindia Belanda sangat marak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Bahkan selama 1920-an, 40 persen dari seluruh haji di Mekkah berasal dari Indonesia.

Baca Juga: Kisah Tragis Zaman VOC: Bangkai Kapal Batavia dan Kekejian Perompak

Jemaat haji dari Makassar dan Selayar sekitar 1890-an. (KITLV 90574)