"Kita [saat ini] memiliki kapasitas yang luar biasa untuk beradaptasi. Tetapi pelajarannya dari [studi] ini ialah sistem sosial, politik, dan teknologi kita harus fleksibel."
Dengan kata lain, menurut para peneliti, masyarakat di masa lampau mampu mengatasi kesulitan iklim karena bersedia untuk berubah. Ini diungkap berdasarkan gabungan analisa mereka terhadap iklim, arkeologi, dan vegetasi.
Kemudian mereka petakan secara runut terhadap hal apa saja yang berubah, kapan terjadinya perubahan, dan bagaimana perubahan itu berkiatan dengan struktur sosial pada masanya.
Lewat analisa data pada sampel serbuk sari dari endapan-endapan di danau di Provinsi Henan, mereka menemukan bahwa iklim sempat hangat dan lembab pada 9.000 hingga 4.000 tahun yang lalu.
Lalu berubah menjadi sejuk dan kering selama transisi zaman neolitik-perunggu (hingga 3.700 tahun yang lalu.
Kemudian sebagai perbandingan, para peneliti menggunakan penanggalan karbon dan data arkeologi lainnya. Tujuannya untuk menentukan apa yang masyarakat lampau tanam dan makan selama periode itu.
Memahami pola itu kemudian dapat dipahami alasan mengapa populasi menghadapi lonjakan yang signifikan di masa itu.
Di masa kondisi iklim yang kering, terdapat perubahan dan keterbatasan sumber daya. Dalam laporannya, masyarakat memperbanyak tanaman untuk dimakan, dan menggunakan varian baru dalam bertani. Yang mereka tanam berupa, milet, gandum, kedelai, dan beras.
Periode sukar ini menjadi momentum bagi mereka untuk berinovasi dalam pengelolaan air untuk irigasi, dan peralatan logam baru. Tatanan sosial juga mulai bergeser untuk mengakomodasi dan mempercepat kecerdasan adaptif mereka.
"Tentunya, pada 4.000 tahun yang lalu, saat kita lihat perubahan dalam kondisi lingkungan secara keseluruhan, ini adalah masyarakat dengan institusi politik, sosial dan ekonomi yang kompleks," terang Kidder.
Baca Juga: Kuasa Hubungan Mancanegara di Masa Silam antara Champa dan Nusantara
"Yang kita lihat adalah kapasitas lembaga-lembaga ini untuk menyangga dan menangani variasi iklim. Kalau berbicara tentang perubahan dalam strategi subsistensi (gaya hidup yang cenderung minimalis), perubahan ini tidak terjadi secara otomatis, tapi pilihan.
Ia berpendapat, bahwa kota-kota peradaban awal Tiongkok menyediakan konteks penting yang sangat serupa dengan kota-kota modern. Yakni, ketika kepadatan penduduk akibat urbanisme didukung oleh pertanian yang intensif.
Hingga akhirnya, peradaban ini memberikan analogi sejarah yang lebih kompleks di masa lalu daripada peradaban Maya, atau di Asia Tenggara seperti Angkor Wat dan Khmer.
Kedua peradaban yang dibandingkan itu memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah, dan produksi pangannya tak menempatkan tuntutan yang sama pada lingkungan fisik.
"Perubahan iklim tidak selalu sama dengan keruntuhan, dan ini adalah poin penting baik dalam konteks prasejarah maupun modern," Michael Storozum, rekan penulis penelitian, menyimpulkan.
"Manusia telah banyak mengubah lingkungan mereka selama ribuan tahun, seringkali dalam upaya meningkatkan produksi pangan yang memberikan masyarakat tingkat ketahanan sosial yang lebih tinggi."
Para peneliti dalam bagian akhir laporannya menulis, kesimpulan itu dapat makin kuat jika banyak ahli lingkungan dan arkeolog bekerja sama. Penelitian ini dapat diteliti pula pada kawasan lain yang mengalami perubahan iklim di masa lalu.