Kisah Simbolik Awal Mataram Sampai Babad Giyanti tentang Geger Pacinan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 3 Maret 2021 | 08:37 WIB
Prajurit Perempuan Mangkunagara dalam pagelaran "Matah Ati". Sebuah perpaduan antara rona anggun dan wibawa di medan laga. (Hafidz Novalsyah/NG Traveler)

Sultan Agung memiliki anak yang bergelar Amangkurat I, cucu bertitel Amangkurat II, dan cicit bergelar Amangkurat III. Di masa Amangkurat I, II, dan III inilah Kerajaan Mataram mengalami pergolakan politik yang kelak akan mengubah nasib kerajaan tersebut

Dalam perjalananannya, “Ada dua golongan yang mempunyai peran besar dalam hubungan pemerintahan Mataram. “Satu, VOC. Nomor dua adalah golongan imigran-imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok,” ujar Daradjadi.

Pada masa itu VOC mengenakan pajak kepala tehadap orang-orang Tionghoa yang menjadi pendatang di Jawa. Pajak kepala ini dikecualikan untuk mereka yang telah menikah dengan orang pribumi atau telah memeluk agama Islam. Perilaku kejam VOC pada orang-orang Tionghoa kelak melahirkan pemberontakan di berbagai kota di Pulau Jawa.

Kerajaan Mataram sendiri juga sempat mengalami beberapa kali pemberontakan, bahkan sempat memindahkan keratonnya dari Plered ke Kartasura. Pemindahan keraton sekaligus ibu kota Kerajaan Mataram ini dilakukan oleh Amangkurat II.

Baca Juga: Kuasa Hubungan Mancanegara di Masa Silam antara Champa dan Nusantara

Legiun Mangkunegaran—Korps militer pada masa Mangkunegara II yang menandai warisan Daendels di kota ini. Gayanya mengadopsi pasukan Grand Armee Napoleon Bonaparte. (Alfonsus Aditya )

Keraton Kartasura didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1680-1742 karena adanya pemberontakan Trunajaya dari Madura, pada tahun 1677, yang menyerbu Keraton Mataram lama yang terletak di Plered. Saat itu Amangkurat II melarikan diri ke hutan Wanakerta dan kemudian mendirikan Keraton Kartasura.

Sebenarnya, dengan bantuan VOC, Amangkurat II kemudian berhasil mengalahkan musuh yang sempat menguasai Keraton Mataram di Plered. Namun, ia memilih untuk melanjutkan pemerintahannya di Kartasura, bukan di Plered.

“Menurut kepercayaan Jawa, jika suatu keraton sudah diinjak-injak oleh orang asing (intruder), maka keraton tersebut sudah kehilangan kesakralannya,” kata Daradjadi. Oleh karena itulah Amangkurat II memilih untuk menjadikan Kartasura sebagai lokasi baru bagi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang ia pimpin.

Perang dan pemberontakan juga menghiasi keberjalanan kisah Keraton Kartasura. Yang paling terkenal adalah pemberontakan Raden Mas Garendi pada tahun 1742 yang dibantu orang-orang Tionghoa untuk menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura. Saat itu, Pakubuwono II (cicit Amangkurat I dari jalur ayahnya yang bergelar Amangkurat IV dan kakeknya yang bergelar Pakubuwono I) yang bertakhta di Keraton Kartasura, melarikan diri ke Ponorogo.

Baca Juga: Mengenal Ardi, Spesies yang Diduga sebagai Nenek Moyang Manusia