Sedang Daniel Griffin, spesialis penyakit menular ProHEALTH Care menganggap, plasma sebagai pemulihan Covid-19 "sepertinya tidak memberi dampak signifikan pada hal-hal yang [harus] diperhitung: kematian dan perawatan di rumah sakit."
Setidaknya, dalam laman penelitian Clinical Trial, terdapat lebih dari 180 uji coba uyang dilakukan ilmuwan Amerika Serikat terkait plasma untuk penyembuhan Covid-19. Salah satunya adalah yang dipublikasikan di jurnal Medrxiv pada Agustus 2020 yang dipimpin Michael J Joyner dan tim.
Penelitian ini dilakukan pada 100.000 pasien yang semuanya menerima donor plasma. Studi itu mengungkapkan bahwa 7,3% kematian lebih di antara pasien yang memiliki tingkat antibodi sendiri yang kemudian menerima plasma. Persentase itu dibandingkan dengan pasien penerima plasma dengan sedikit antibodi.
Menurut para peneliti, pemberian plasma kepada pasien yang antibodinya sedikit atau lemah, meski efektif, sama saja dengan mengonsumsi plasebo. Plasebo sendiri adalah jenis obat kosong yang tidak mengandung zat aktif dan tidak dapat meberikan efek apa pun pada kesehatan.
Meski demikian, mereka tidak memasukkan metode pengobatan jenis plasebo. Karena, meski tidak memenuhi standar untuk uji klinis, plasma cukup efektif pada pasien yang memiliki antibodi kuat.
Kemudian FDA juga melakukan penelitian bersama NIH. Hasil studi itu menjadi acuan mereka untuk memperbolehkan penggunaan plasma untuk segala pasien.
Namun, Scott Wright, salah satu peneliti bersama Michael Joyner, mengkritik terburu-burunya lembaga itu. Sebab studi ini masih terlal kecil untuk memberikan bukti yang dapat disimpulkan terkait efektivitas penyembuhan lewat donor plasma.
Baca Juga: Menurunnya Daya Kebal Mengakibatkan Infeksi Covid-19 Kedua Kali
"Kita tahu, dibutuhkan lebih dari 1.000 pasien untuk menunjukkan manfaat efektivitasnya," ungkapnya. Menurutnya, uji coba yang dilakukan oleh FDA melibatkan terlalu sedikit pasien, dan belum memiliki cukup perawatan yang lebih potensial.
Uji coba yang dilakukan otoritas itu dilakukan pada 47 unit gawat darurat rumah sakit, dan sampel hasilnya teruji pada 511 peserta. Sedangkan yang diteliti oleh mereka secara kesluruhan ada 900 orang.
Pasien dan peneliti yang memiliki gejala Covid-19 selama seminggu atau kurang, diyakini efektif oleh mereka. Tetapi setelah dianalisa lebih lanjut, penyakit itu umumnya disebabkan oleh reaksi yang berlebihan oleh sistem kekebalan daripada virusnya sendiri.
NIH pada 25 Februari membahasnya dalam pertemuan Data and Safety Monitoring Board (DSMB). Mereka meninjau data dan menentukan bahwa sementara pengobatan plasma tak menyebabkan kerusakan.
NIH, dalam rilisnya juga mendapatkan saran dari DSMB untuk menghentikan pendaftaran pasien baru untuk penelitiannya. DSMB pun menyarankan agar NIH berhenti mendaftarkan pasien baru ke dalam penelitian tersebut, dalam rilis.
Setelah itu, Glynn dan timnya dari NIH menunggu sampai data sudah dianalisa sepenuhnya terkait efektivitas penyembuhan plasma. Setelah menunggu hasil yang dapat disimpulkan dari hasilnya, mereka pun menghentikan uji coba yang selama ini berjalan.