Nationalgeographic.co.id—Kerajaan Luwu merupakan salah kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dan Tengah. Ia menjadi kerajaan yang juga melegenda karena dikisahkan dalam epik abad ke-13 I La Galigo, sebagai kerajaan awal masyarakat Bugis.
Keberadaannya juga terungkap dalam kitab Negarakertagama pada abad ke-14 sebagai kerajaan sekutu Majapahit di masa Hayam Wuruk. Awal mula kerajaan ini pun sama dengan asal-usul kerajaan Bugis-Makassar pada umumnya yang menyebut mitos sosok To Manurung.
Nawir dalam buku Sejarah Islam di Luwu, menulis bahwa Luwu memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Lokasinya di pesisir Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara, membuatnya kerap dikunjungi pedagang dari seluruh dunia.
Namun kekuasaan Luwu mulai terancam di masa penjajahan Belanda. Perlahan-lahan, pemerintah Hindia Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Sulawesi Seltan, terutama setelah Kerajaan Gowa dan Bone jatuh di tangan mereka pada 1905 dan 1911.
Invasi Hindia Belanda itu dikenal sebagai Zuid-Celebes Expeditie yang juga disebut dengan Perang Bone IV atau Perang Gowa (Bundaka ri Gowa). Menurut Hari Budiarti dalam jurnalnya Colonial Collections Revisited (2007) yang diterbitkan di Leiden, ekspedisi mengangkut banyak benda bersejarah Sulawesi Selatan ke Belanda.
Baca Juga: To Manurung, Sosok, dan Falsafah Demokrasi Ciri Khas Sulawesi Selatan
Konflik dengan Kerajaan Luwu dengan Hindia Belanda bermula dari keinginan pemerintah koloni memonopoli perdaganan hasil bumi Luwu. Keinginan pemerintah diupayakan dengan membujuk raja Luwu Andi Kambo, bekerjasama dengan pemerintah lewat rayuan modernitas dan etis mereka.
Kerajaan Luwu memilih membelot, hingga akhirnya pemerintah kolonial menyerangnya, dan memaksakan perjanjian pendek kepada raja Luwu pada 14 Juni 1905, yang isinya:
1. Luwu harus melepaskan Poso, dan sebagai imbalnnya Luwu diberi ganti rugi oleh Belanda.2. Raja dan dewan adat Luwu harus menandatangi Korte Verklaring (perjanjian pendek ini).3. Raja dan adat Luwu harus melepaskan hak-haknya atas bea cukai barang-barang keluar masuk di Luwu dan diserahkan ke Gubernur Jenderal.4. Membaya denda f6.000 karna terlambat membalas permintaan gubernurmen.
Lagi-lagi, tuntutan ini tak dihiraukan hingga akhirnya Hindia Belanda yang sudah berpusat di Makassar dikirim ke Luwu, dengan bermukim sementara di Pelabuhan Palopo sejak 19 September 1905.
Keseriusan Belanda ini membuat para petinggi Luwu saling bertentangan karena takut kehancuran akan Luwu. Tetapi seorang tokoh dewan, Andi Tadda Opu Tosangaji tak gentar dan tak mau Hindia Belanda menguasai Luwu.
Dalam, Jurnal Walasuji (Vol 8 No. 1 tahun 2017), Sirtimuryati dari BPNB Sulawesi Selatan, bahwa Andi Tadda langsung menyiapkan pasukan untuk menghadapi KNIL yang bergerak menuju ibu kota.
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
Tetapi benarlah dugaan para dewan adat, kerajaan Luwu akhirnya takluk karena kalah senjata. Pada pertempuran di Kampung PunjalaE, Andi Tadda sendiri tertembak mati, sedangkan beberapa petinggi dewan ditawan oleh pasukan Belanda.
Andi Kambo sendiri menjadi tahanan dan mengalami didesak menandatangani Korte Verklaring oleh pihak Hindia Belanda. Tanda tangan perjanjian itu dibubuhkan pada 25 Februari 1907, dan diikuti oleh kawasan adat di bawah Luwu hingga 1909.
Meski Luwu sudah jatuh di Hindia Belanda, bukan berarti tak ada perlawanan. Muhammad Abduh dan Abdul Rauf Rachim dalam Seminar Sejarah Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penajajahan Asing, ada banyak perlawanan seperti yang dilakukan Makole Baebunta (salah satu petinggi dewan) dan Haji Hasan.
Perlawanan Haji Hasan cukup baik terdokumentasi oleh sejumlah sejarawan. Kemarahannya bermula dari kebijakan Hindia-Belanda yang menghapus monarki Luwu dengan pemerintahan modern yang berbuah pada sentimen agama.
Haji Hasan bersama Tojabi adalah dua ulama yang menolak pemberlakuan hukum belanda di Luwu. Pemerintah, pasca Korte Verklaring pun selalu menaruh curiga pada aktivitas mereka berdua.
Haji Hasan pun lantang mempropagandakan anti Belanda sebagai orang-orang kafir. Propaganda ini mendapat dukungan dari berbagai masyarakat--hingga ke Wajo dan Kolaka—yang dendam pada pemerintah. Perlawanannya mulai marak secara gerilya sejak 1907.
Berdasarkan informasi dari mata-mata Hindia Belanda, Haji Hasan membambangun pertahanan di daerah Wawo (sebelah utara Kota Kolaka). Ia juga mendapat dukungan dari kalangan masyarakat Kolaka.
Pada Agustus 1907, militer Hindia Belanda mengirim ekspedisi ke Wawo untuk menangkap Haji Hasan dan Tojabi. Tetapi saat mendekati daerah itu, pihak militer yang masih buta kawasan, disergap diseluruh penjuru, dan menewaskan beberapa pasukan oleh keris, pedang, dan tombak.
Ekspedisi di bulan-bulan berikutnya juga membuat pihak Belanda mengalami kegagalan. Meski sudah mengirim pasukan kurang lebih 300 orang untuk menangkap mereka, pasukan itu mendapat serangan balik dan menelan banyak korban jiwa.
Baca Juga: Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan
"Sulitnya menangkap Haji Hasan memaksa pemerintah Hindia-Belanda meminta bantuan orang-orang Bugis," tulis Sirtimuryati.
"Keberadaan orang-orang Bugis di sekitar tempat tinggal Haji Hasan di Kampung Sulobongko, sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan bagi Haji Hasan kalau mereka itu prajurit sewaan pemerintah Belanda."
Melalui pasukan sewaan dan militer yang tergabung, pihak Hindia Belanda secara leluasa mengenali medan dan mengepung Wawo--daerah pertahanan baru pemberontak.
Dalam ekspedisi terakhir pada 14 April 1914, Haji Hasan menyadari posisi mereka, tapi tak sudi untuk menyerah. Akibatnya, Haji Hasan dan beberapa pengikutnya tertembak mati.
Sedangkan Tojabi, menurut Sanusi Mattata pada buku Luwu dalam Revolusi, ditangkap oleh para militer dan ditahan hingga akhir hayatnya.
Kuasa mempertahankan pengaruh Luwu di Sulawesi pun memudar. Hingga kini, Kerajaan Luwu hanya menjadi istana adat yang kerap dikunjungi wisatawan pecinta budaya.