Batas khayal ini kemudian dipakai oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang sebelumnya diberi tugas dalam Sidang Umum PBB 1957 dan Resolusi Majelis Umum PBB 1963 untuk mnentukan batas angkasa penerbangan.
Hasilnya juga dapat membantu pembagian tugas ICAO dengan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) yang berwenang di angkasa luar.
Sedangkan militer Amerika Serikat dan NASA, lebih mendefinisikan batas ruang angkasa yang lebih rendah dari FAI. Yakni 50 mil di atas permukaan laut, atau sama dengan 12 mil di bawah Garis Kármán. Maka, setiap pilot, warga sipil, atau siapapun itu yang melampaui batas ini, secara resmi--bagi militer AS dan NASA--disebut sebagai astronaut.
Baca Juga: Hipotesa Simulasi, dari Filsafat hingga Teknologi Algoritma Fisika
Sedang di Indonesia, regulasi mengenai wilayah di angkasa mengikuti hukum internasional mengenai batas kedaulatan negara untuk udara, darat, dan laut, dalam perjanjian. Landasan hukum kedaulatan ini tertuang dalam Pasal 25 UUD 1945.
Lebih rincinya, di bahas dalam UU No.43 Pasal 6 ayat (1) huruf (c) Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang berbunyi: "Batas wilayah di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional."
"Dalam pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan, pemerintah berwenang memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam perundang-undangan," lanjut fungsinya pada Pasal 10 ayat (1) huruf (e).