Nationalgeographic.co.id - Batas ketinggian yang bisa digapai untuk pesawat komersial adalah 30.000 hingga 45.000 kaki, berdasarkan ketetapan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Ketika di dalamnya, kita dapat melihat batas cakrawala di ufuk yang memisahkan permukaan Bumi dan langit biru nan luas akibat refleksi matahari dalam atmosfer. Sedangkan di balik langit biru nan luas itu, terdapat antariksa yang gelap dan bertabur bintang.
Kebanyakan orang pada umumnya sepakat bila batas ruang angkasa dan Bumi dapat dimulai dari batas terakhir atmosfer. Namun bila ini menjadi acuan bagi beberapa lembaga antariksa, lapisan terakhir dan terlapis atmosfer berada 600 mil di atas sana.
Sehingga definisi ini, menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), memperumit banyak hal. Sebab di ketinggian demikian ISS atau Stasiun Luar Angkasa Internasional (mengorbit 205 hingga 279 mil), pesawat ulang-alik (mengorbit 200 mil), dan beberapa satelit, bisa dianggap masih berada di Bumi.
Namun dimanakah sejatinya letak batas luar angkasa di atmosfer? Jawabannya, tergantung pada konteks yang ditanyakan.
Berdasarkan hukum internasional, luar angkasa memiliki kebebasan untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua pihak. Namun sebenarnya, tak ada hukum pasti yang menyatakan persis batas ruang udara negara-negara dengan luar angkasa. Sehingga ada banyak pendapat.
Baca Juga: Bentuk Bumi Bantu Satelit Tetap di Posisinya
Dalam buku Never Ending Dispute: Delimitation of Air Space and Outer Space yang ditulis Robert F. A. Goedhart, para ilmuwan menyebut bentuk Bumi yang tak sempurna mengakibatkan ketinggian batas udara dan luar angkasa memiliki perbedaan pendapat di setiap negara.
Menurut Federation Aeronautique Internationale (FAI), batas antara angkasa udara dengan angkasa luar berada di ketinggian 100 kilometer (62 mil) di atas permukaan laut.
Batas itu dibuat dengan garis khayal bernama Garis Kármán, yang dinamai menurut insinyur dan fisikawan Hongaria-Amerika Theodore von Kármán.
Meski sebelumnya tak ada konsensus tentang perbatasan antara wilayah udara dan luar angkasa, sebagian besar dewan mengatakan bahwa batasnya berada di antara 80 dan 110 kilometer di atas permukaan laut. Namun 100 kilometer adalah patokan kasar untuk puncak tertinggi sebuah pesawat dan titik penerbangan terendah untuk benda dari luar angkasa.
Batas khayal ini kemudian dipakai oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang sebelumnya diberi tugas dalam Sidang Umum PBB 1957 dan Resolusi Majelis Umum PBB 1963 untuk mnentukan batas angkasa penerbangan.
Hasilnya juga dapat membantu pembagian tugas ICAO dengan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) yang berwenang di angkasa luar.
Sedangkan militer Amerika Serikat dan NASA, lebih mendefinisikan batas ruang angkasa yang lebih rendah dari FAI. Yakni 50 mil di atas permukaan laut, atau sama dengan 12 mil di bawah Garis Kármán. Maka, setiap pilot, warga sipil, atau siapapun itu yang melampaui batas ini, secara resmi--bagi militer AS dan NASA--disebut sebagai astronaut.
Baca Juga: Hipotesa Simulasi, dari Filsafat hingga Teknologi Algoritma Fisika
Sedang di Indonesia, regulasi mengenai wilayah di angkasa mengikuti hukum internasional mengenai batas kedaulatan negara untuk udara, darat, dan laut, dalam perjanjian. Landasan hukum kedaulatan ini tertuang dalam Pasal 25 UUD 1945.
Lebih rincinya, di bahas dalam UU No.43 Pasal 6 ayat (1) huruf (c) Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang berbunyi: "Batas wilayah di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional."
"Dalam pengelolaan wilayah negara dan kawasan perbatasan, pemerintah berwenang memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam perundang-undangan," lanjut fungsinya pada Pasal 10 ayat (1) huruf (e).