Psikolog Ungkap Kenapa Jadi Korban Ghosting Sangat Menyakitkan

By Utomo Priyambodo, Selasa, 9 Maret 2021 | 17:38 WIB
Ilustrasi korban ghosting. (Favor_of_God/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id—Beberapa hari belakangan topik percakapan di media sosial tak lepas dari kata ghosting. Kisah percintaan putra bungsu Presiden Republik Indonesia menjadi pemicunya. Banyak netizen Indonesia yang kemudian ikut curhat membagikan pengalamannya menjadi korban ghosting, dan itu sangatlah menyakitkan.

Dan menjadi korban ghosting itu memang sangatlah menyakitkan.

“Lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian,” tulis Jennice Vilhauer, Ph.D, psikolog yang berbasis di Los Angeles, di Psychology Today.

Vilhauer menjelaskan untuk yang belum tahu arti ghosting, bahwa menjadi korban ghosting adalah mendapati seseorang yang Anda yakini peduli dengan Anda, baik itu teman atau seseorang yang Anda kencani, tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan sama sekali. Tidak pernah ada lagi kontak darinya lewat panggilan telepon atau email, bahkan pesan singkat atau chat.

Baca Juga: Ghosting: Alasan, Cara Bekerja, dan Dampaknya dalam Hubungan

“Dalam budaya kencan saat ini, ghosting adalah fenomena yang dialami oleh sekitar 50 persen pria dan wanita —dan artinya jumlah orang yang hampir sama telah melakukan ghosting tersebut,” papar Vilhauer. “Terlepas dari seberapa umum ghosting itu, efek emosionalnya dapat menghancurkan, dan terutama merusak mereka yang sudah memiliki harga diri yang rapuh.”

Orang-orang yang melakukan ghosting terutama berfokus untuk menghindari ketidaknyamanan emosional mereka sendiri. Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan orang lain yang menjadi korban ghosting mereka itu.

Seseorang yang pernah melakukan ghosting terhadap seseorang akan lebih mungkin untuk melakukan ghosting terhadap orang lainnya. Begitu pula korban ghosting, mereka bisa jadi akan melakukan hal serupa. “Semakin sering perilaku ghosting terjadi, baik pada diri mereka sendiri atau teman-teman mereka, semakin banyak orang yang kemudian menjadi tidak peka terhadap akibat dari perilaku itu, dan semakin besar kemungkinan mereka untuk melakukannya kepada orang lain,” tulis Vilhauer.

Bagi banyak orang, ghosting dapat menyebabkan perasaan tidak dihormati, dipermainkan, dan dibuang. Seseorang yang pernah menjadi korban berkali-kali dapat mengalami trauma dalam percintaannya.

“Ketika seseorang yang kita cintai dan percaya melepaskan diri dari kita, rasanya seperti pengkhianatan yang sangat dalam,” kata Vilhauer.

Baca Juga: Ingin Hubungi Mantan Selama Karantina? Psikolog Ungkap Alasannya

Vilhauer sempat mendata dan merinci beberapa curahan hari dari orang-orang yang pernah menjadi korban ghosting, antara lain berikut:

“Aku merasa seperti orang bodoh. Kayak telah dipermainkan. Dan lebih dari itu aku merasa tidak dihargai. Mengabaikan kisah romantisme yang sudah terjalin, untuk kemudian memiliki hubungan dekat dengan teman yang baru dan kemudian tiba-tiba tidak pernah mendengar kabar darinya lagi? Itu menyakitkan dan sangat mengecewakan. Tidak ada yang pantas untuk diperlakukan seperti itu."

“Masih terasa seperti seseorang telah meninju perut saya saat itu terjadi. Sikap pengabaian itu menghina. Kurangnya keterbukaan itu sangat menjengkelkan. Kamu perlu move on, tetapi harga dirimu harus terpukul lebih dulu. Satu-satunya hal yang lebih buruk daripada putus cinta adalah menyadari bahwa seseorang bahkan tidak menganggapmu layak untuk diputuskan.”

"Ghosting adalah salah satu bentuk penyiksaan dalam kencan yang paling kejam."

Baca Juga: Para Psikolog Berbagi Kiat Agar Merasa Bahagia Setiap Hari, Ini yang Mereka Lakukan

Mengapa menjadi korban ghosting itu sangat menyakitkan? Vilhauer menjelaskan bahwa ghosting tidak memberi Anda petunjuk bagaimana harus bereaksi. Ini menciptakan skenario akhir dari ambiguitas.

Haruskah Anda khawatir? Bagaimana jika mereka (pasangan kencan Anda) sebenarnya sedang terluka dan terbaring di ranjang rumah sakit di suatu tempat? Haruskah Anda marah? Mungkin mereka hanya sedikit sibuk dan akan menelepon Anda kapan saja. Anda tidak tahu bagaimana harus bereaksi karena Anda tidak benar-benar tahu apa yang terjadi.

Vilhauer mengatakan, salah satu aspek ghosting yang paling berbahaya adalah bahwa hal itu tidak hanya menyebabkan Anda mempertanyakan validitas hubungan yang Anda miliki, tetapi juga menyebabkan Anda mempertanyakan diri sendiri. Mengapa saya tidak menyadari bahwa hal ini akan terjadi? Bagaimana saya bisa menjadi penilai karakter yang buruk? Apa yang telah saya lakukan sehingga menyebabkan ini? Bagaimana cara melindungi diri dari hal ini yang pernah terjadi lagi?

Baca Juga: Menyimak Foto Kisah Hikikomori yang Hidup Mengurung Diri di Jepang

Ghosting adalah penggunaan akhir dari silent treatment, sebuah taktik yang sering dipandang oleh para profesional kesehatan mental sebagai bentuk kekejaman emosional. Ini pada dasarnya membuat Anda tidak berdaya dan membuat Anda tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau diberi informasi yang akan membantu Anda memproses pengalaman secara emosional. Ini membungkam Anda dan mencegah Anda untuk mengekspresikan emosi dan didengarkan, yang mana penting untuk menjaga harga diri Anda,” tulis Vilhauer lebih lanjut.

“Terlepas dari niat ghoster (orang yang melakukan ghosting),” tegasnya, “ghosting adalah taktik interpersonal pasif-agresif yang dapat meninggalkan luka dan bekas luka psikologis.”