Penggundulan Hutan untuk Sawit di Indonesia Turun, tapi Banyak Catatan

By Utomo Priyambodo, Rabu, 10 Maret 2021 | 08:00 WIB
Api perlahan membakar hutan yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.idPenggundulan hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit di wilayah Indonesia turun drastis pada 2020. Hal itu diungkapkan oleh Chain Reaction Research (CRR) berdasarkan hasil studi mereka.

Sepanjang 2020, deforestasi untuk sawit di Indonesia bahkan mencapai titik terendahnya dalam tiga tahun terakhir, yakni 38.000 hektare dalam setahun. Angka ini turun 58 persen dari 90.000 hektare pada 2019 dan 49 persen dari 74.000 hektare pada 2018.

Penurunan tingkat deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit di Indonesia ini telah dimulai sejak setengah tahun pertama 2020. Analisis oleh CRR yang dipimpin oleh Aidenvironment dan partnernya Earth Equalizer menyimpulkan bahwa salah satu penyebabnya adalah kebijakan pembatasan mobilitas akibat adanya pandemi COVID-19.

"Pembatasan lebih lanjut di Indonesia dan negara tujuan ekspor bisa jadi bagian dari alasan berlanjutnya pengurangan tingkat deforestasi di kuarter triwulan ketiga dan triwulan keempat tahun lalu, meskipun permintaan dari dalam negeri dan peningkatan harga komoditas kelapa sawit dapat mengakibatkan peningkatan pembukaan lahan di tahun 2021," tulis CRR dalam laman resmi mereka.

Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas

Sayangnya, meski tingkat penggundulan hutan untuk pembukaan lahan sawit di Indonesia telah berkurang sepanjang 2020, jumlah pihak yang menjadi pelaku deforestasi ini masih banyak dan cenderung tetap sama.

"Kebanyakan dari perusahaan yang muncul dalam daftar pelaku deforestasi terbesar tahun ini juga muncul di daftar yang sama tahun 2018 dan 2019," beber CRR.

CRR mengungkapkan 22.000 hektare atau sekitar 58 persen dari total 38.000 hektare penggundulan hutan untuk pembukanaan lahan kelapa sawit di Indonesia pada 2020 dilakukan oleh sepuluh grup perusahaan kelapa sawit besar, sedangkan sisanya terbagi ke 112 perusahaan lainnya.

Sepuluh grup perusahaan tersebut adalah Sulaidy, Ciliandry Anki Abadi, Bengalon Jaya Lestari, Mulia Sawit Agro Lestari (MSAL) Group, PT Permata Sawit Mandiri, IndoGunta, Jhonlin Group, Shanghai Xinjiu Chemical Co., Citra Borneo Indah Group, dan Indonusa.

Baca Juga: Lahan Gambut Tropis Tertua di Dunia Ditemukan di Pedalaman Kalimantan

Hilangnya keanekaragaman hayati akibat masifnya perkebunan sawit. Tak jarang memicu kekeringan dengan dampak akhir kebakaran hutan. Bila tidak diperhatikan, pemanasan suhu global kian tak terkendali. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Yang menjadi catatan, menurut data CRR, perusahaan-perusahaan ini merupakan supplier atau pemasok minyak sawit untuk perusahaan-perusahaan yang telah tergabung dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau telah memiliki kebijakan NDPE.

Hal ini “menunjukkan adanya kegagalan yang terjadi di pihak pembeli dengan kebijakan NDPE untuk menerapkan kebijakannya dengan baik dan risiko adanya pasar yang bocor (leakage markets),” kata CRR.

Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah

Kebijakan NDPE sendiri merupakan singkatan dari No Deforestation, No Peat, No Exploitation. Ini adalah sebuah komitmen yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan pemakai dan pembuat produk olahan sawit untuk menjankan produksi kelapa sawit secara lebih berkelanjutan dengan tidak menebang hutan dan lahan gambut serta tidak melanggar hak asasi manusia dengan mengeksploitasi para pekerja lokal.

Annisa Rahmawati, advokat lingkungan dari Indonesia Mighty Earth, mengatakan perusahaan-perusahaan konsumen minyak sawit harus bertindak lebih cepat ketika terjadi deforestasi atau pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, dan akan lebih baik apabila mereka bisa mencegahnya sebelum terjadi.

"Perusahaan besar memiliki kemampuan untuk bebas dari deforestasi, mereka hanya perlu menegakkan kebijakan mereka dengan ketat dan bekerja sama melibatkan seluruh pemangku kepentingan termasuk pemerintah, LSM dan masyarakat terkait dalam melaksanakan policy mereka," ujar Annisa, seperti dikutip dari Kompas.com.

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

Warga memanfaatkan lahan gambut sebagai tempat untuk bertani. (Syafrizaldi)

Annisa melanjutkan, dalam hal ini proses-proses perbaikan menuju nol deforestasi, baik oleh anggota-anggota RSPO maupun perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen NDPE, sudah seharusnya berdampak di lapangan dan tidak hanya "lip service" belaka.

Mighty Earth juga mencatat bahwa review perizinan dan perencanaan tata ruang yang baik, yang didukung proses yang transparan dan inklusif, masih belum optimal dilakukan di Indonesia. Selain itu, ada jutaan hektare lahan gambut dan hutan rusak di Indonesia yang belum direstorasi dan dikonservasi. Annisa menegaskan, kegiatan-kegiatan restorasi dan konservasi ini merupakan pencipta pekerjaan terbaik, di mana pelibatan masyarakat lokal merupakan kunci keberhasilan di dalamnya.