Kisah Kejayaan dan Senja Kala Sriwijaya dalam Catatan Semasa

By National Geographic Indonesia, Rabu, 10 Maret 2021 | 10:00 WIB
Pengurus kuil Banteay Prei Nokor, Kamboja, Kompong Cham, wilayah Chenla yang pernah terkait Sriwijaya-Sailendra. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Mau lewat bayar pajak

Dalam kronik Dinasti Sung (960-1279) disebutkan suatu negeri di laut selatan yang bernama San-fo-tsi. Oleh para ahli, kerajaan ini diperkirakan sama saja dengan Shih-li-fo-shih pada masa dinasti sebelumnya, Dinasti Tang.

Melalui arsip Dinasti Sung, tergambar bahwa sejak abad kesembilan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan berkat penguasaan Selat Malaka dan hubungan baik dengan India dan Cina. Hal ini pun direkam oleh para penulis Arab. Pada 846, misalnya, ahli geografi Ibnu Khurdadhbih mencatat, raja Sriwijaya setiap hari melemparkan satu batang emas ke kolam. Emas-emas itu akan diangkat ketika sang raja wafat, lalu dibagi-bagikan kepada keluarga raja dan para panglima perang. Sisanya untuk rakyat.

Sriwijaya tidak berkeberatan memberikan upeti kepada Cina sebagai adikuasa saat itu, agar mereka leluasa mengontrol jalur perdagangan. Kapal-kapal asing di perairan Sriwijaya dikenakan cukai. Disebut-sebut, salah satu strategi Sriwijaya adalah menggandeng para nomad di laut, juga para perompak.

Chau Ju-kua (Zhao Rugua), komisaris Cina dalam perdagangan internasional, mengamini politik niaga Sriwijaya. Dua volume naskah berjudul Chu-fan-chi (Zhu Fan Zhi, catatan tentang bangsa asing) karya Chau menceritakan banyak hal walau ditulis pada abad ke-12 dan ke-13 ketika Sriwijaya telah meredup.

Di Selat Malaka, kapal-kapal dagang kerap menghindari pungutan pajak dengan cara berlayar selaju-lajunya. Namun, seperti ditulis oleh Chau, upaya itu kemungkinan besar gagal. “Jika kapal dagang tidak singgah, mereka mengejar untuk menyerang dan semuanya berani mati,” tulis Chau. “Inilah alasan mengapa negeri ini merupakan pusat perdagangan yang besar.”

Pada baris-baris lain dalam Chufanchi, Chau menulis,  “Sanfotsi terletak di antara Kamboja dan Jawa. Kekuasaannya terbentang di 15 negeri bawahan. Dinding kotanya terbuat dari batu bata. Penduduknya tersebar di luar kota atau di atas air dengan rumah rakit berlapis alang-alang. Mereka cekatan berkelahi di darat atau di air. Kalau akan berperang, mereka berkumpul dan mengirimkan pasukan sesuai kebutuhan. Mereka menunjuk pemimpin-pemimpin. Soal menghadapi musuh dan maut, mereka tidak ada duanya. Negeri ini terletak di lautan dan mengon­trol selat dan daratan yang harus dilalui bangsa-bangsa asing.”

Dharmakirti dan Atisha

Kebijakan Sriwijaya dalam perdagangan boleh jadi keras. Namun, dalam keagamaan, negeri ini terus tercatat dengan tinta emas.

Pada abad ketujuh, Sriwijaya disebut oleh biksu pengembara dari Cina, I-Tsing, sebagai pusat agama Buddha di lautan selatan. “Di kota Sriwijaya yang dikelilingi tembok terdapat lebih dari seribu biksu yang menekuni pengkajian naskah agama dan amal baik,” catatnya. Kala itu, terdapat guru agama Buddha di Sriwijaya yang dihormati I-Tsing yakni Sakyakirti.

Pada awal abad ke-11, seorang guru besar bernama Dharmakirti di Sriwijaya juga harum semerbak namanya hingga ke seberang lautan. Hal itulah yang mendorong biksu Atisha Dipamkarasrijnana untuk berlayar dari India menuju Swarnadwipa.

Literatur kuno Tibet menyebutkan, sebelum mereformasi agama Buddha di negeri itu, Atisha pernah memiliki 157 orang guru. Namun, hanya Dharmakirti—gurunya selama 12 tahun—yang selalu membuatnya diliputi keharuan mendalam kala mengenang. Dari Swarnadwipa, Atisha membawa pulang suatu naskah karya Dharmakirti. Ia kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Tibet bersama-sama dengan biksu Rin Chen Bzang Po.

Baca Juga: Resmi Sandang Status Cagar Budaya Nasional, Situs Batujaya Jadi Bukti Keberlanjutan Pelestarian Masa Prasejarah Hingga Hindu-Buddha

Lampu kilat menerangi Stupa Mahligai dan Candi Tua di ambang malam. Percandian Muaratakus di Riau ini diyakini memiliki peran penting pada suatu babak perjalanan Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Peter Skilling, seorang fellow pada Lumbini International Research Institute (Nepal) sekaligus pengajar khusus pada Chulalongkorn University di Bangkok, mencatat suatu hal menarik. Dalam suatu karya ilmiahnya pada 1997, Peter mengungkapkan bahwa naskah itu berjudul Durbodhaloka—berarti “pencerahan atas pokok-pokok yang sukar“. Naskah itu aslinya ditulis oleh Dharmakirti menggunakan Bahasa Sanskerta.

“Aloka ini dirangkai oleh Dharmakirti atas permintaan raja termasyhur, Cudamaniwarman, di kediamannya yang menggembirakan, Sriwijaya. Selesailah Durbodhaloka yang disusun di kota Sriwijaya di Swarnadwipa pada tahun kesepuluh pemerintahan Sri Dewa Cudamaniwarman. Diterjemahkan, direvisi, dan diselesaikan oleh guru Dipamkarasrijnana dan penerjemah yang hebat biksu Rin Chen Bzang Po,” demikian isi dari bagian colophon (keterangan penerbit) manuskrip tersebut.

“Walaupun Sriwijaya dipandang sebagai pusat pembelajaran Buddhisme, hanya satu dari sekian banyak literaturnya yang seharusnya banyak itu yang selamat,” tulis Peter. “Itulah Durbodhaloka.”

Kanal-kanal di percandian

“Banyak biksu dari Tibet dan India datang,” jelas Ahok—sapaan akrab Abdul Haviz, pemuda warga Desa Muarajambi. Kami sedang melepas penat di kediamannya yang hanya beberapa puluh meter dari tepian Sungai Batanghari dan percandian Muarajambi.

Sehari-hari, Ahok aktif dalam pelestarian per­candian Muarajambi bersama sejumlah pemuda lainnya. Di antara sekian banyak biksu Tibet yang berkunjung, Ahok mengingat seseorang yang membawa misi khusus. “Ia datang ke rumah ini, meminta agar saya mengantarnya berjalan kaki mengunjungi candi yang satu ke candi lainnya. Setelah selesai di percandian, ia meminta agar diantarkan ke Muara Batanghari,” kisah Ahok. Biksu itu bernama Tasila Tenzin Dakpa. Ia salah satu pembantu pemimpin spiritual Tibet.

Ahok lalu membawa Tasila ke daerah Muarasa­bak dekat Muara Batanghari. “Saya sempat memo­tretnya,” kata Ahok sembari membuka satu berkas foto digital pada layar komputernya.

Saya melihat sosok biksu berjubah merah tua membelakangi kamera. Ia mematung di ujung derma­ga kecil tempat masyarakat menambatkan sampan. Wajah­nya menghadap ke muara. Lanjut Ahok, “Setelah cukup lama, Tasila berpaling ke­pada rekan­nya yang menunggu bersama saya di belakang, mengatakan, ‘Ya, di sini tempatnya’.”

Ternyata, biksu Tasila menyelidiki apakah benar Muarajambi dan Batanghari yang dikun­jungi oleh Atisha pada awal abad ke-11. Beberapa waktu lalu, saya mencoba menghubungi alamat surat elektronik Tasila dalam kartu nama yang ditinggalkannya untuk Ahok. Saya ingin mewawancarainya, namun tak kunjung berbalas.

Menurut Bambang Budi Utomo, di kompleks Muarajambi yang luas totalnya lebih dari 2.000 hektare telah ditemukan lebih dari 80 reruntuhan bangunan dari batu bata merah. Percandian ini diperkirakan mulai dibangun dan digunakan sebelum, selama, dan setelah masa Sriwijaya.

Kini, jaringan parit dan kanal—dahulu dibuat untuk menghubungkan candi satu dengan lainnya—masih dapat disaksikan. Pada masa silam, orang berkunjung dari candi ke candi dengan perahu. “Kanal-kanal itu juga terhubung dengan Batanghari menuju laut,” jelas Bambang.

Para cendekiawan meyakini, setidaknya mulai abad ke-10, pusat Sriwijaya berpindah dari Palembang ke Jambi di sekitar Batanghari. Pada masa ini pula nama Sanfotsi mulai diguna­kan oleh Bangsa Cina untuk menyebut Sriwijaya.

Setelah mengunjungi Muarajambi, saya diperke­nalkan oleh Ahok kepada Roy Mardianto, seo­rang peminat sejarah yang tinggal di Kota Jambi. Roy dan teman-temannya mendirikan Yayasan Padmasana. Lembaga swadaya ini berinisiatif mengumpulkan koin-koin Cina dari sekitar muara Batanghari.

“Koin-koin ini kami peroleh dari masyarakat yang menemukan dan menyimpannya,” jelas Roy. Koin-koin itu kemudian diidentifikasi satu demi satu dan diklasifikasikan. Sejauh ini, Yayasan Padmasana telah mengumpulkan lebih dari 2.000 keping koin dan baru setengahnya berhasil diidentifikasi.

Roy dkk menemukan bahwa koin tertua ber­asal dari kurun waktu antara 118 SM hingga 617 M (abad ketujuh). “Yang seperti itu ada lima keping, dikenal sebagai koin Wu Zhu,” katanya.

Koin yang terbanyak berasal dari masa Kaisar Li Yuan (618-626), pendiri Dinasti Tang (618-907). “Terdapat 141 keping koin dari masa Li Yuan. Sedangkan terbanyak kedua dari masa Kaisar Shen Tsung, 129 koin. Koin dari abad ke-13 juga cukup banyak,” catat Roy. Shen Tsung adalah kaisar Cina yang berkuasa pada 1067-1085. Ia termasuk Dinasti Sung (960-1279).

Koin-koin tersebut salah satu indikasi hubung­an dagang dengan Cina sejak sebelum, selama, dan setelah masa Sriwijaya. Sayangnya, hal ini belum didukung oleh temuan dan bukti dengan metode arkeologis.

Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurha­di Rangkuti, dalam kesempatan berbeda menga­takan kepada saya bahwa peninggalan di Delta Batanghari berusia lebih muda. “Kebanyakan justru dari abad ke-11 dan ke-12,” jelasnya.

Untuk kaisar dan ayah

Pada 988, seorang utusan dari Sriwijaya datang ke Cina dan menetap dua tahun. Di pelabuhan Kanton, ketika berniat pulang ia mendengar kabar negerinya diserang Jawa. Ia lantas mengurungkan niat untuk pulang. Tinggal selama setahun lagi. Beberapa tahun kemudian, sang utusan sempat berlayar hingga ke Campa. Karena di sana tidak ada kabar apapun tentang Sriwijaya, ia kembali lagi ke Negeri Atap Langit.

“Kemudian, utusan itu memohon agar kaisar Cina mengeluarkan pengumuman bahwa negerinya berada di bawah perlindungan kaisar,” ucap Ninie Susanti, pengajar arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Ninie mengatakan kepada saya, pada masa itu Sriwijaya dan Jawa seringkali berperang. “Saat itu Mataram Kuno sedang diperintah oleh raja Dharmawangsa Tguh dan pusat pemerintahannya berada di pesisir utara Jawa Timur,” lanjut ahli arkeologi yang banyak meneliti prasasti Jawa ini.

Baca Juga: Mengintip Tradisi Perayaan Waisak Dari Berbagai Negara di Dunia

Senja di tepian Sungai Musi, Palembang. Kawasan ini diduga merupakan area pusat kadatuan Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Mungkin sebagai reaksi setelah bertikai dengan Jawa, Sriwijaya mempererat hubungannya dengan Cina dan India memasuki abad ke-11. Pada 1003 seperti dicatat Chau Ju-kua, utusan Sriwijaya mengabarkan, suatu candi Buddhis—diduga Muaratakus di Riau—didirikan di negerinya.

“Di sana akan didoakan agar kaisar panjang umur,” tulis Chau. Lalu ia melanjutkan, “Sebuah harapan diungkapkan, agar kaisar berkenan memberikan nama untuk candi itu, juga sebuah lonceng sebagai berkat, untuk dipasang di sana. Kaisar mengabulkan. Beliau memberikan nama Chong-tien-wan-shou untuk candi itu dan menghadiahkan sebuah lonceng.”

Hanya berselisih tiga tahun, diplomasi serupa juga ditempuh dengan India. Apabila pada abad kesembilan hubungan dengan Kerajaan Pala diperkuat (prasasti Nalanda), maka pada awal abad ke-11, hubungan dengan Chola yang diperteguh. Kerajaan Chola berlokasi di daerah Tamil Nadu sekarang, di India selatan.

Raja Chola saat itu yakni Rajaraja I menerbit­kan prasasti yang kini disim­pan di Leiden, Belanda. Tarikhnya sekitar 1006. Prasasti yang ditulis dalam dua bahasa, Sanskerta dan Tamil, itu mengisahkan pembangunan wihara Cudamanivarmavihara di Nagipattana (Nagapattinam). “Yang dibangun dengan nama ayahnya oleh Marawijayotunggawarman yang mulia... yang lahir dalam Wangsa Sailendra, raja Sriwijaya, yang menyelenggarakan pemerintahan Kedah,” begitu sebagian isinya.

Marawijayottunggawarman, raja Sriwijaya yang membangun wihara, menggunakan nama ayahnya—Cudamaniwarman—untuk menamai bangunan suci itu. Cudamaniwarman sendiri adalah raja dalam naskah Durbodhaloka karya Dharmakirti yang dialihbahasakan oleh Atisha.

Prasasti lain yang ditemukan di kuil Karo­nasvamin di Nagapattinam pun memberita­kan, utusan raja Sriwijaya dari Kedah memberikan hibah. Peristiwanya antara 1014 atau 1015, pada masa pemerintahan Rajendra Chola I, anak Rajaraja I yang baru naik takhta. “Sri Mulan Agattisvaran, utusan raja Sriwijaya, mengatur pendirian gerbang kuil Tirukkaronamudaiya di Nagapattinam,” demikian bagian intinya.

Ekspedisi Rajendra Chola

Tanpa dinyana, pada 1017 atau 1018 Rajen­dra Chola I mengirimkan ekspedisi militer ke Sriwijaya. Ini dikemukakan oleh sejarawan India, RC Majumdar. Dasarnya adalah prasas­ti dari Thiruvalangadu, juga di Tamil Nadu. Salah satu barisnya  berbunyi, “Berhasil menaklukkan Kedah dengan bantuan pasukannya yang gagah berani dan telah menyeberangi samudra.”

Hanya berselang dua tahun, pada 1019, melalui suatu prasasti lainnya dari kuil Karonasvamin di Nagapattinam, justru terbit berita hubungan kedua kerajaan tetap baik. Prasasti ini menceri­takan pemberian hadiah emas buatan Cina dari raja Kedah (Sriwijaya) untuk kuil Karonasvamin.

Barulah pada 1025 sikap Chola kepada Sriwi­jaya benar-benar berubah. Armada Rajendra Chola I menyeberangi Samudra Hindia, meng­gempur kota-kota Sriwijaya secara habis-habisan.

Serangan ini dibanggakan dalam prasasti Tanjore (1030). Isinya menyebutkan penawanan raja Sanggramawijayottunggawarman (Mara­wijayotunggawarman) di Kadaram (Kedah).

Pelabuhan-pelabuhan lain juga dilum­puh­kan. “Sri-Vijaya” disebutkan paling atas. Kemudian menyusul Pannai (pesisir timur Sumatra Utara), Ilamuridesam (Lamuri di Aceh), Malaiyur (Melayu), Ilangasogam (Langkasuka, sekitar perbatasan Malaysia dan Thailand), Ma­na­k­kavaram (Kepulauan Nikobar), serta beberapa lokasi lain yang sulit diidentifikasi.

Dalam prasasti itu, Marawijayottunggawarman ditawan di Kedah bersama dengan “gajah-gajah yang termasuk ke dalam pasukannya yang hebat”. Sejumlah besar perhiasan raja juga dikuasai.

Para ahli berikhtiar menjelaskan motif di balik serangan itu. Terdapat beberapa kemungkinan. Yang pertama, Rajendra Chola digambarkan sebagai raja yang berkarakter ekspansif. Sejak naik takhta menggantikan ayahnya (Rajaraja I), ia mengembangkan kebijakan penaklukan. Srilangka menjadi korban pertama disusul tetangga di India: Chera, Pandya, dan Chalukya.

Kedua, hubungan Chola dengan Cina secara langsung mulai dibuka. Kronik Dinasti Sung menyebutkan, utusan Chola yang pertama tiba pada 1015. Anehnya, saat itu para pejabat Cina mengira Chola adalah negeri bawahan Sriwijaya. 

Kebangkitan Chola serta hubungan dagang  langsung antara negeri Tamil itu dengan Cina, diperkirakan mengusik Sriwijaya. Atau, boleh jadi, justru Chola yang terusik oleh fakta bahwa Sriwijaya berada di antara mereka dan Cina.

Nilakanta Sastri menguraikan dalam naskah­nya, Sri Vijaya, alasan penyerangan Chola sulit dipahami. “Kita tidak tahu. Tetapi pasti; walau ekspedisi Rajendra terbilang sukses, tidak ada indikasi pendudukan Chola atas Sriwijaya baik secara keseluruhan maupun sebagian,” tulisnya.

Karena hal ini, sebagian ahli beranggapan, serangan Chola hanyalah “penjarahan”. Pada 1028, tak lama setelah serangan Chola, utusan Sriwijaya tiba di Cina dan tidak menunjukkan kesan negerinya diduduki oleh Bangsa Tamil.

Telaah paling mutakhir, atau kemungkinan ketiga, diangkat oleh Ninie Susanti. “Terdapat kemungkinan bahwa Chola melindungi kepen­tingan para pedagang Tamil yang beroperasi di sekitar Selat Malaka,” kata Ninie kepada saya. “Prasasti berbahasa Tamil tersebar di Srilangka, Burma, Thailand, Cina, dan Sumatra. Kemungkinan, para pedagang Tamil telah menetap di wilayah sekitar Selat Malaka sejak abad kesembilan,” jelasnya.

Hipotesis ini didukung oleh Bambang Budi Utomo. “Terdapat prasasti berbahasa Tamil dari daerah Barus, Sumatra Utara, bertarikh abad ke-11. Isinya pendirian serikat dagang para pedagang Tamil. Mungkin saja serangan itu dipicu oleh pajak terlalu tinggi yang dibebankan Sriwijaya kepada para pedagang Tamil,” jelasnya.

Kota lima kambing

Serangan Chola melemahkan Sriwi­jaya yang sebelumnya telah terganggu peperangan de­ngan Jawa dan kesulitan ekonomi. Sriwijaya diperki­rakan telah menjadi kota pelabuhan tunggal na­mun tetap mengirimkan utusan ke Cina mem­bawa nama Sanfotsi. Mereka memberikan kesan tidak terjadi apa-apa, demi kepercayaan Cina.

Pada 1079, raja Sriwijaya melakukan pemugar­an suatu kuil Tao di Kanton, Cina. Kisahnya diulas dalam piagam batu yang ditemukan pada musim semi 1957 di kota pelabuhan itu.

“Pada masa pemerintahan Chih-ping antara 1064-1067, Raja Sanfotsi, Yang Mulia Ti-hua-ka-lo memerintahkan utusan untuk membawa kapalnya ke kota ini. Namanya Chih-lo-lo. Begitu tiba, ia melihat kuil ini hancur dan terabaikan. Ia pulang, melaporkan kepada rajanya. Pada 1067 raja mengutus Si-li-sha-wen untuk memulai perbaikan gerbang utama kuil.”

“Pada tahun kedua pe­merintahan Yuan-fong (1079) proyek  selesai. Sejak itu kapal-kapal Sanfotsi berlayar tanpa takut akan bahaya seperti yang dirasakan sebelumnya.” Demikianlah inti prasasti di “Kota Lima Kambing”—sebutan Kanton yang digunakan dalam prasasti.

Baca Juga: Di Balik Kuasa Kesultanan Banten dalam Perniagaan Mancanegara

Sejumlah mahasiswi melintasi air mancur di Palembang. Nama Sriwijaya kini menjadi identitas daerah. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Dalam kongres MIPI (Majelis Ilmu Pengeta­huan Indonesia), Oktober 1962 di Yogyakarta, guru besar sejarah dan ilmu hukum Mohammad Yamin menjelaskan prasasti ini. “Tingginya 1,6 meter dan lebarnya satu meter lebih. Dibuat oleh pengurus kuil bernama Ho Sun-te (Ho-tek-sun) saat pembangunan kembali kuil Tien-ching pada 1079. Terdiri dari 700 kata lebih dan selain terdapat di sana-sini kata-kata yang kurang nyata, semuanya masih dalam keadaan utuh,” tulisnya.

Dua tahun berselang, pada 1964, ahli sejarah Asia Tenggara, Tan Yeok Seong, juga membahas prasasti ini. Kuil yang dipugar, catat Tan, adalah kuil Tao yang pada 1950-an masih terle­tak di Kuang Cho North Road di Kanton.

Tan lantas membuat analisis. Raja Sriwi­jaya Tihuakalo sebenarnya orang yang sama dengan Rajendra Deva Kulotungga dari Chola. Hal ini juga diyakini ahli sejarah Slamet Muljana. Tihuakalo adalah Kulotungga, raja Chola yang mulai berkuasa di India pada 1070. Sebelum naik takhta di negeri sendiri, ia sempat ditugaskan memimpin Sriwijaya yang telah ditaklukkan.

Di Kanton, saat kuil selesai, Tihuakalo tetap dianggap raja Sanfotsi walaupun telah sembilan tahun naik takhta di Chola. Sebabnya, keinginan Tihuakalo untuk memugar kuil tersebut muncul pertama kali pada kurun waktu 1064-1067 ketika ia menetap di Sriwijaya.

Dalam Shung Shih (sejarah Dinasti Sung), dise­but­kan, “Chu-lien (Chola) dikuasai orang dari Sanfotsi.” Tan memiliki analisis menarik: sejak 1070 Tihuakalo memerintah Chola sekaligus Sriwijaya—negeri bawahannya. Kemungkinan, urusan Chola di Asia Tenggara dikendalikan dari Palembang sedangkan ibu kota domestik Sriwijaya sebagai negeri bawahan ada di Jambi.

Karena itu catatan Cina menyebutkan, pada 1082 tiba dua pucuk surat dari Sanfotsi. Pertama, dari Raja Sanfotsi Jambi. Kedua, dari putri raja yang diserahi kekuasaan mengawasi urusan negara Sanfotsi. “Kedua pemerintahan berkuasa berdampingan,” demikian tulis Tan.

Pada abad ke-11 hingga ke-13, nama Sriwijaya se­sekali masih direkam kronik Cina. Bagaima­napun, Sriwijaya tak kunjung bangkit lagi seperti pernah dirintis Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Gambar dari titik-titik

Selama seratus tahun terakhir, banyak cende­kiawan mencoba menjawab pertanyaan ini: mengapa Sriwijaya sedikit saja meninggalkan bangunan atau prasasti? Baiklah, ada beberapa. Namun, selain isinya sukar diin­ter­pretasi, jum­lah­nya terlalu sedikit bagi kita untuk merangkai sejarah kerajaan ini dengan lebih terang.

Para ahli tiba pada ke­sim­pulan senada: Dapun­ta Hyang dan para penerusnya sibuk mengurusi perdagangan dan “lupa ber­cerita” lewat prasasti. Lepas dari abad ketujuh, Sriwijaya berselimut kabut. Hanya tampak sesekali. Samar.

Pada abad kedelapan hanya ada satu prasasti Sriwijaya. Pada abad kesembilan juga satu. Abad ke-10 nihil. Abad ke-11, prasasti ter­kait Sriwijaya kembali ramai namun tiba-tiba kita dikabarkan, kerajaan ini sedang menuju kehancurannya.

Selama dua tahun terakhir, saya membaca hampir semua literatur yang dapat diakses dan mungkin terkait Sriwijaya, Sri Vijaya, Sri Vishaya, Si Wichai, Sribuza, Sribhoga, Shihlifoshih, Sanfotsi, Swarnadwipa, Swarnabhumi, Zabag, dan lainnya. Lebih dari 1.000 naskah ilmiah digoreskan puluhan ahli dari belasan negara, berbagai disiplin ilmu. Kerajaan ini tak banyak mencatat sejarahnya sehingga kita harus berusaha mengenal­nya dari naskah kuno bangsa asing.

Para sarjana memilah-milah mana saja kabar dari naskah kuno yang sungguh mengacu kepada Sriwijaya. Semua kabar itu, ditambah prasasti,  candi, arca, serta warisan lainnya, ibarat titik-titik yang tertera pada  kertas putih yang lebar.

Kita dapat menarik garis, menghubungkan titik-titik itu sehingga terbentuk gambar. Inilah yang terjadi. Titik-titik data digunakan untuk menggambar rupa kerajaan ini. Namun, berbeda cendekiawan mungkin berbeda pula gambarnya.

Mengenai asal mula dan pusat Sriwijaya, cukup banyak “gambar” berupa hipotesis: Seme­nanjung Malaka, Thailand selatan, Jambi, Riau, Palembang, bahkan Jawa pada suatu kurun waktu terkait Sailendra. Dari banyak hipotesis, sebagian besar ahli menyetujui pendapat George Coedes: Sriwijaya berpusat di Palembang, setidaknya periode awal. Jambi—dan mungkin Kedah—diduga pusat-pusat setelah era Palembang.

Pengarungan Sungai Musi, urat nadi peradaban sejak masa Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Kendati demikian, dunia ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti. Gambar-gambar baru terus dirangkai dari titik-titik yang sama. Titik-titik baru lalu ditambahkan. Terkadang, gambar lama yang sudah dilupakan justru dihiasi lagi.

Tahun lalu, Takashi Suzuki, doktor ekonomi dari Jepang yang 30 tahun mendalami topik Sriwijaya berdasarkan minat pribadi, kem­bali membuka wacana. Ia menulis buku The History of Sriwijaya under the Tributary Trade System of China terbitan Mekong Publishing. Kesimpulan Takashi begini: Sriwijaya berpusat di Chaiya.

Pendapat Takashi merupakan pengembangan dari teori Quaritch Wales pada 1930-an. “Ditelaah dari setiap aspek, Palembang sebenarnya salah satu negeri bawahan Sriwijaya dan tak pernah menjadi pusatnya,” tulis Takashi.

Melalui naskah-naskah Cina, ia menggambar interpretasi berbeda dari yang selama ini dikemu­kakan para ahli. Dalam jawaban pertama­nya kepada saya melalui surat elektronik, Takashi mengetik kalimat ini: “Blak-blakan saja, peranan Palembang dalam Sriwijaya dan penyebaran Buddhisme masa itu terbatas. Saya khawatir teori dan hipotesis saya berdasar bukti-bukti, agak melukai perasaan masyarakat Indonesia.”

Ia meyakini, pengetahuan tentang Sriwijaya dirangkai dari interpretasi keliru atas titik-titik­nya. “Dalam peta jalur pelayaran I-Tsing, pada 1896 Takakusu keliru meletakkan Shihlifoshih. Seharusnya di sebelah utara khatulistiwa, di Se­menanjung Malaka. Chaiya pelabuhan penting sejak masa Kerajaan Funan,” katanya. “Mengenai pasukan berjalan kaki, 1.312 orang dalam prasasti Kedukanbukit, mereka juga datang dengan perahu, mendarat di suatu tempat lalu berjalan kaki sehingga terkesan sebagai infanteri.”

Kalau Shihlifoshih di Chaiya, mengapa I-Tsing mengitari Semenanjung Malaka? Bukan­kah lebih cepat jika menempuh rute darat dari Chaiya ke Takua Pa di pesisir barat lalu naik kapal ke India?

“Saya pun bertanya-tanya,” jawab Takashi. “Dari Chaiya, I-Tsing naik kapal raja ke selatan ke Moloyu, lalu memutar arah ke utara menuju Kedah, dan seterusnya. Kapal itu memiliki ke­perluan dagang. Mungkin I-Tsing berpikir, naik kapal raja adalah pilihan paling aman.”

Penggunaan nama Sanfotsi oleh Dinasti Sung, tercatat mulai 904 hingga 1178, menurut Takashi,  “Mengindikasikan bahwa nama itu berarti Tiga Wijaya. Pelabuhan utama Sanfotsi ada tiga: Jambi paling selatan di Selat Malaka, sedangkan Kedah paling utara di selat yang sama. Chaiya bertanggung jawab untuk perdagangan dengan Teluk Siam dan Indocina.” Satu lagi, tegasnya, “Swarnadwipa adalah daratan yang berada di kedua sisi Selat Malaka, bukan hanya Sumatra.”

Takashi jelas membuat gambar lain dari titik-titik yang sama dengan yang dilihat para ahli sejak era George Coedes. Mungkin kita semua bisa kembali ke situasi tahun 1920-an.

Bagaimanapun, memang masih banyak celah yang dapat dipertanyakan, dari yang kita ketahui tentang Sriwijaya. Ketika membaca Chufanchi karya Chau Ju-kua saya pun heran. Pada bagian tentang Sanfotsi, Chau menyebutkan negeri itu terdiri dari 15 negeri bawahan. Dua di antaranya Po-lin-fong (Palembang) dan Si-lan (Srilangka)!

Masih banyak—tepatnya banyak sekali—yang perlu diterangkan dan dibuktikan. Inilah dinamika ilmu pengetahuan.

Reynold Sumayku adalah Photo Editor National Geographic Indonesia. Kisah ini terbit pada 21 November 2013.

Detik-detik menjelang keberangkatan Tim Sriwijaya jelajah Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Mereka dilepas di halaman kantor National Geographic Indonesia. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)