Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan

By National Geographic Indonesia, Jumat, 26 Maret 2021 | 10:00 WIB
Dua perempuan mendayung kole-kole di Teluk Youtefa, Kota Jayapura. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Cerita oleh Fadhil Ramadhan

Foto oleh Zulkifli

 

Nationalgeographic.co.id—Di Jayapura, terdapat hutan adat yang masih dijaga oleh para warganya hingga saat ini. Namanya adalah Hutan Adat Perempuan yang tepatnya terletak di Kampung Enggros, Teluk Youtefa. Dinamakan Hutan Adat Perempuan karena yang boleh memasuki hutan tersebut hanyalah kaum perempuan. Apabila ditemui ada laki-laki yang memasuki hutan tersebut, maka dia akan dikenakan denda.

Kaum perempuan Kampung Enggros biasa memasuki hutan tersebut dengan kole. Mereka memiliki budaya mencari kerang di sana dengan tanpa berbusana. “Jadi kami melucuti semua pakaian, lalu turun ke air dan mencari kerang,” terang Yopince Hanasbey (51), warga Kampung Enggros. “Kalau orang tua bilang, bila kami turun ke air menggunakan pakaian, jadinya kami menjadi susah untuk mendapatkan kerang.”

“Kami merasa senang tiap berhasil mendapatkan kerangnya satu per satu,” ujar Yopince. “Kami membawa kerang-kerang dari Hutan Adat Perempuan dan memasaknya di rumah untuk disantap bersama dengan keluarga.” Kerang-kerang tersebut hidup di lumpur murni yang terdapat di hutan mangrove. Masyarakat Kampung Enggros biasanya mencari kerang dengan cara meraba dasar hutan mangrove dengan kaki.

 

Saat mencari kerang pun, ibu-ibu tidak diperbolehkan untuk memasuki Hutan Adat Perempuan sendirian. Minimal berdua agar para ibu-ibu satu sama lain dapat berbincang dan saling menceritakan isi hati.

Kaum perempuan Kampung Enggros lebih menyukai membicarakan perihal keluarganya di sana ketimbang di rumah. Bagi mereka, Hutan Adat Perempuan merupakan teritorial privat. “Di Hutan Adat Perempuan, saya bisa mengungkapkan seluruh isi hati saya,” ujar Yopince. “Saya bisa menceritakan kisah masa lalu, juga persoalan keluarga di sana.”

Di Hutan Perempuan, Yopince atau yang biasa dipanggil ibu guru, bersama dengan ibu-ibu yang lain biasa mencari kerang sembari saling berbagi cerita. Ibu guru menceritakan alasan kenapa para ibu-ibu bercerita di sana adalah karena ibu-ibu Kampung Enggros tidak memiliki para-para untuk berbincang, ataupun hak untuk berbicara di kampung. Maka itu diberikan ruang khusus bagi mereka berupa Hutan Adat Perempuan.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Lautan dan Hutan di Kampung Tablasupa

Hutan Perempuan, hamparan mangrove yang dimuliakan oleh warga Kampung Engros, Teluk Youtefa, Jayapura. Hutan ini didedikasikan untuk para peremuan sebagai ruang berbincang privat. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

Hutan Adat Perempuan pun memiliki peraturan tidak tertulis yang menjadikannya terlarang untuk dimasuki. “Contohnya di saat warga desa sedang berduka,” terang ibu guru. “Kami pun memasuki hutan perempuan hanya pada saat musim air surut. Pada saat air pasang, kami tidak memasukinya.”

Syony Merauje (54) Kepala Kampung Enggros menceritakan asal usul Kampung Enggros. “Kampung Enggros berarti kampung kedua. Sejarah Kampung Enggros tidak terlepas dari dari kampung sebelumnya, Kampung Tobati,” terang Syony. Kampung Tobati dahulu memiliki Hutan Adat Perempuan juga, sama seperti Kampung Enggros. Namun batang dari pohon mangrove sering diambil, hingga kini Hutan Adat Perempuan Kampung Tobati pun sudah tidak ada lagi. Dalam setahun terakhir, Polisi Laut Teluk Youtefa telah menangkap dua pelanggar; penebang liar dan penangkap ikan yang menggunakan bom di kawasan Teluk Youtefa.

“Dalam prinsip hukum adat kami, perempuan mendapatkan regulasi paling tinggi. Hampir 52 prinsip hukum adat memberikan regulasi kepada perempuan,” ujar Syony. “Perempuan dihargai sekali di mata hukum adat karena memberikan keturunan, dan lain sebagainya.” Kampung Enggros pun mendapatkan penghargaan sebagai kampung terbaik Kota Jayapura pada 2016. Setelah itu menjadi kampung terbaik Provinsi Papua. Lalu di tingkat nasional, Kampung Enggros mendapat juara ketiga sebagai kampung terbaik dari seluruh kampung/desa di Indonesia. Kampung Enggros juga mendapat penghargaan dari Majalah Tempo.

Baca Juga: Menyingkap dan Memetakan Keunikan Gambar Cadas di Perairan Papua

Yopince Hanasbey (51), warga Kampung Enggros dan seorang guru sekolah dasar. Bersama kaum perempuan lainnya, ia biasa mencari kerang di Hutan Perempuan, Teluk Youtefa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Ibu guru bercerita bahwa kerang-kerang di Hutan Adat Perempuan pada dahulu berukuran besar-besar. Namun diketahui bahwa kerang-kerang yang didapat dari sana kini berukuran kecil. Hal tersebut menurut ibu guru, bisa jadi disebabkan oleh berkurangnya kualitas air dia area habitat kerang tersebut. Menjaga ekosistem kerang dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kualitas air di area habitat kerang tersebut.

Kondisi air yang kurang bersih menjadikan ibu-ibu tidak bisa mengolah dengan mudah kerang-kerang yang telah didapat. “Orang-orang tua dahulu, begitu pulang dari mencari kerang di hutan mangrove, kerang-kerang tersebut cukup direbus sekali kemudian dapat langsung di makan,” kata ibu guru. “Kini merebus kerang harus tidak atau empat kali, baru dapat dimakan.”

Peristiwa Gempa dan Tsunami Biak pada 17 Februari 1996 menyebabkan 107 orang meninggal serta ribuan rumah roboh dan hancur, termasuk kawasan Teluk Youtefa. Setelah peristiwa tersebut, warga secara swadaya melakukan penanaman pohon cemara laut di area Tanjung Kasuari, Teluk Youtefa.

Baca Juga: Tari Wutukala, Inovasi Berburu Ikan Ala Suku Moy di Papua Barat

Kaum perempuan dan lelaki Kampung Enggros memelihara kelestarian lingkungan alam di kawasan Teluk Youtefa. Mereka melakukan pemulihan di kawasan hutan mangrove, juga transplantasi karang di kawasan Teluk Youtefa. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Papua Resort Youtefa bersama dengan masyarakat Kampung Enggros memelihara kelestarian lingkungan alam di kawasan Teluk Youtefa. Mereka melakukan pemulihan di kawasan hutan mangrove, juga transplantasi karang di kawasan Teluk Youtefa.

Pohon mangrove selain menjadi peredam arus gelombang tsunami dan penghasil oksigen, ia juga sebagai tempat bagi ikan-ikan untuk untuk bersarang. “Bukan hanya kerang, udang dan ikan juga berlindung di bawah pohon-pohoon mangrove,” ucap ibu guru. Hutan mangrove yang merupakan Hutan Adat Perempuan menjadi hal penting dalam kelangsungan hidup masyarakat Kampung Enggros. Tidak adanya Hutan Adat Perempuan, sama artinya dengan hilangnya ruang bagi perempuan Kampung Enggros.

Degup Cycloop, kisah sampul National Geographic Indonesia edisi Januari 2021. Edisi pembuka tahun ini berbonus sisipan poster dua sisi tentang Pusparagam Cycloop dan Edisi Khusus Merapah Rempah. (National Geographic Indonesia)