Sebagi contoh, banyak soal matematika dalam buku ini yang melibatkan konsep 'merantau' --meninggalkan kampung halaman untuk mencari peruntungan yang lebih baik di tempat lain. Sejujurnya, konsep itu masih relevan hingga saat ini, dengan banyak orang Asia Tenggara termasuk Indonesia memilih untuk bermigrasi, bukan karena ketidaksetiaan kepada komunitas mereka, tetapi lebih sebagai upaya untuk membuat hidup lebih baik bagi diri mereka sendiri dan orang yang mereka cintai.
Ada juga perbedaan yang jelas antara orang pedesaan dan orang kota, dengan yang pertama disebut sebagai 'orang kampoeng' (atau orang kampung dalam bahasa Melayu modern), yang secara harfiah berarti orang desa.
Soal-soal matematika dalam buku kuno ini juga menggambarkan bahwa saat itu wanita di Indonesia atau dulu disebut Hindia-Belanda tidak diperlakukan dengan adil. Sayangnya, kondisi hari ini masih sama saja, meski tidak seburuk dulu.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Soal-soal dalam buku matematika kuno tersebut menggambarkan ketimpangan gender ini dengan baik. Satu masalah secara terbuka diungkapkan dalam buku matematika kuno itu adalah kesenjangan upah gender antara laki-laki dan perempuan, dengan perempuan selalu berpenghasilan paling rendah.
Kata-kata yang ditampilkan dalam buku kuno itu jarang digunakan saat ini atau secara resmi sudah kuno. Ini termasuk kata-kata seperti 'anggur', bukan 'wine', yang digunakan untuk menyebut minuman anggur. Saat ini 'anggur' masih digunakan, tetapi hanya untuk merujuk pada buahnya sendiri, yakni anggur.
'Nyiur' dan 'krambil' juga digunakan untuk menyebut kelapa, sedangkan 'kamedja' digunakan untuk menyebut kemeja berkerah (disebut 'kemeja' dalam bahasa Melayu modern). Menariknya, kata kamedja ini berakar dari bahasa Portugis, yakni 'camisa'.
Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa
Buku ini juga masih memakai kata sandang atau sapaan seperti 'si', ditempatkan sebelum nama seseorang. Itu hanya digunakan untuk orang yang tidak hadir dalam percakapan, seperti 'Si Anna' atau 'Si Mark' (Filipina), dan 'Si Roha' atau 'Si Maruli' (Batak).
Tetapi jika dipikir-pikir, Indonesia dan Malaysia modern masih menggunakan kata sandang ini. Misalnya, jika seseorang bertanya, “Kemana orang Danial itu pergi?”, Mereka akan menjawab “Si Danial tu pergi mana?”. Mungkin tidak digunakan sesering sebelumnya, tapi masih ada.
Buku matematika berusia 140 tahun ini memberikan wawasan yang luar biasa tentang Indonesia kuno. Waktu telah banyak berubah sejak saat itu. Tapi cukup keren untuk bisa melihat nuansa negara yang berusia berabad-abad jauh sebelum kemerdekaan. Jika Anda tidak menyukai matematika, setidaknya nilai historis dari buku tersebut pasti akan membuat Anda penasaran.