Ajaran Saminisme, Ketika Anarkisme 'Kawin' dengan Paham Kejawen

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 29 Maret 2021 | 12:00 WIB
Masyarakat Sedulur Sikep atau Samin dari seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bersilaturahmi dalam Temu Ageng Sedulur Sikep yang diadakan di Blora tahun 2019. (Taufiqur Riza Subthy)

"Saya enggak ingin itu. Saya ditunjuk jadi pemimpin tetap saja cari duit dari keringat sendiri, bukan duit rakyatnya," ungkapnya.

Idealisme mereka yang enggan pada hierarki juga tertuai dalam bahasa Jawa-ngoko yang mereka gunakan.

Tingkatan Jawa Krama (halus), Madya (biasa), Ngoko (kasar) yang umumnya dipakai tak diterapkan karena cara menghormati orang lain bukanlah lewat bahasa, tetapi perbuatan. Selain itu, penggunaan Jawa-ngoko identik dengan bahasa Jawa Kuno agar bisa memperkuat inti pembicaraan.

Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Samin di Sambongrejo, Blora Jawa Tengah. Secara struktur, ia dianggap sebagai ketua, tetapi secara adat ia tak menganggap adanya jabatan itu. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Ajaran Saminisme berprinsip nilai luhur yakni tak membenci agama manapun, tak boleh dengki, sabar dan tak bertengkar, memahami hidup dan kematian, melawan ketertindasan, jujur dan menjaga ucap.

Prinsip Samin juga enggan untuk berdagang karena memiliki unsur ketidakjujuran/kapitalisme. Bahkan beberapa masyarakat juga berpendapat tak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang yang rawan kepentingan pihak luar.

Perbedaan tafsir ajaran Samin Surosentiko bagi Pramugi adalah hal yang wajar, karena ajaran ini sebenarnya budaya tutur yang diturunkan dari mulut ke mulut. Beberapa orang mencoba menuliskannya dalam bentuk kitab, tetapi tak dapat memungkiri perbedaan tafsir itu sendiri.

'Kitab' yang dianggap sebagai pedoman hidup masyarakat Samin adalah Serat Jamus Kalimasada, yang terdiri dari Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.

Tetapi Pramugi menolaknya sebagai patokan utamabagi kelompoknya. Sebab serat-serat itu berunsur Hindu, sedangkan Kejawen yang dipahami Samin Surosentiko benar-benar murni falsafah budaya Jawa atau Kejawen.

Perbedaan tafsir dalam masyarakat Samin juga disebabkan luasnya cakupannya. Mereka dapat melebur dalam masyarakat agama lain, bahkan antar komunitas juga bisa memiliki pandangan berbeda tentang penerapan Saminisme.

Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora

Walau berbeda, mereka terkadang mengadakan Temu Ageng Sedulur Sikep di Sambongrejo yang diadakan setiap Jumat Legi sebagai ajang silahturahmi Sesama masyarakat Samin.

Bagi mereka, Jumat Legi merupakan unsur laut yang berarti tempat kehidupan bermula dan air yang dibutuhkan untuk hidup.

"Kegiatan itu selalu diadakan oleh pihak pemerintah, jarang yang diadakan sendiri. Kalau [masyarakat Sedulur Sikep lainnya] mau ke sini, datanglah ke sini. Kami enggak ajak, karena kalau megnajak itu ada konsekuensinya, [seperti] harus tanggung jawab kalau lapar," ia menekankan.

"Tetapi yang jelas bagi kami tidak ada ritual, Samin itu ajaran non-ritual. Enggak semedi, enggak apa, karena yang penting bagi kami itu sama saudara rukun yang baik, kerja yang jujur, kita saling santai ben penak (biar enak)."