Perjuangan Sedulur Sikep dari Tuduhan Komunis sampai Soal Lingkungan

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 29 Maret 2021 | 10:00 WIB
Masyarakat Samin atau biasa Sedulur Sikep saling berinteraksi di acara Temu Ageng Sedulur Sikep 2019 lalu di Sambongrejo, Blora. (Taufiqur Riza Subthy)

Nationalgeographic.co.id—Sedulur Sikep yang biasa disebut masyarakat Samin terkenal sebagai gerakan protes atas kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Ajaran ini pertama kali dibawa oleh Samin Surosentiko yang kemudian menyebar ke beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Rembang, Blora, Grobogan, dan Bojonegoro.

Suryanto Sastroatmodjo dari Kementerian Informasi Republik Indonesia menulis dalam bukunya Masjarakat Samin pada 1952, bahwa perlawanan yang dilakukan Samin dan pengikutnya adalah aksi diam, pembangkangan kerja bakti, dan penolakan pembayaran pajak pada pemerintah Hindia Belanda tahun 1890.

Pembangkangan inilah yang membuat beberapa pengikut, termasuk Samin Surosentiko ditangkap pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat.

Keberanian mereka dalam mengkritisi otoritas pun berlanjut hingga masa kini mengenai kesewenangan pemerintah Indonesia kepada mereka.

Baca Juga: Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Samin di Sambongrejo, Blora Jawa Tengah. Secara struktur, ia dianggap sebagai ketua, tetapi secara adat ia tak menganggap adanya jabatan itu. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Pramugi Prawiro Wijoyo, pengikut Samin dari Sambongrejo, Blora berbagi kisah kepada National Geographic Indonesia tentang diskriminasi terhadap masyarakat Sedulur Sikep.

Saat masa G30S 1965, pihak militer mendatangi kediaman masyarakat Samin di Sambongrejo. 

"Karena apa yang kami hayati belum dianggap kepercayaan, kami dikira PKI, mas," kenangnya. "Kami dipaksa sholat, karena kalau enggak yo dikiranya PKI terus ditangkep. Tapi setelah diberi kejelasan, yang mendatangi kami bisa paham kalau kami ini Sedulur Sikep, dan enggak ada hubungannya dengan partai."

Karena mereka yang memegang teguh pada Kejawen, mereka kerap mendapat intimidasi hingga kini sebagai ajaran sesat. Intimidasi lainnya juga muncul lewat istilah "nyamin" oleh masyarakat sekitar yang bermakna negatif, atas sifat yang menyerupai orang Sedulur Sikep yang terlalu berterus terang.

Masyarakat Sedulur Sikep atau Samin dari seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bersilaturahmi dalam Temu Ageng Sedulur Sikep yang diadakan di Blora pada 2019. (Taufiqur Riza Subthy)

"Kami enggak peduli orang menganggap kami apa. Agamaku Adam. Walaupun belum diadopsi oleh pemerintah, enggak masalah, mau diadopsi apa enggak itu wewenang beliau (penguasa)."

"Percuma yang dikomentari agamanya bagus-bagus tapi orangnya malah jelek," Pramugi terkekeh.

Dilansir dari Tempo.co, sejak 2012 pemerintah Jawa Tengah berencana agar kolom agama di KTP masyarakat Sedulur Sikep dapat diisi sebagai 'Kepercayaan'. Meski ini dianggap sebagai langkah awal yang baik oleh mereka, kebijakan ini dinilai kurang memuaskan.

"Yang dianggap cuma enam agama. Kong Hu Cu, Buddha, Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu. Lah agamaku mana? Katanya Bhinneka Tunggal Ika, tapi agamaku cuma dianggap kepercayaan," protes Pramugi.

Menentang pabrik semen.

Meski dihadang cap buruk kepada mereka, bukan berarti sikap kritis mereka berhenti. Masyarakat Sedulur Sikep yang mayoritas berpegang teguh sebagai petani juga melakukan perlawanan dan memprotes kebijakan.

Salah satunya adalah masyarakat Sedulur Sikep di Rembang dan Pati yang menolak pembangunan pabrik semen di Rembang dan Pati selama 2014 hingga 2015.

Masyarakat Samin Kendeng yang menyemen kakinya di Istana Merdeka tahun 2016sebagai bentuk protes untuk menghentikan aktivitas pembangunan pabrik Semen. (AMAN)

"Terkait penolakan pabrik semen, Sedulur Sikep ini kan nggo (untuk) mencukupi penghidupannya mung (cuma) kepengen jadi petani," ungkap Gunretno salah satu pengikut Samin, dalam dokumenter SAMIN vs SEMEN produksi Watchdoc.

"Nek (Kalau) yang namane tani kan butuh lemah (tanah), kan tidak hanya tanah saja, tapi bagaimana caranya bisa tumbuh air."

Menurut ajaran Samin, aktivitas pertanian adalah sumber penghidupan utama yang murni tanpa ada kecurangan. Berbeda dengan kegiatan perdagangan yang memiliki unsur ketamakan yang bisa merugikan orang lain.

Di sisi lain, protes itu tampaknya tak satu sisi oleh masyarakat Sedulur Sikep yang lain. Pramugi di Blora menganggap pembangunan itu baik untuk kepentingan bersama dan bukan dijual untuk asing.

"Ingat, semua itu ada konsekuensinya. Tapi kalau dirusak, kayak diambil terus bawa keluar. Itu kurang ajar!" ungkapnya. "Tapi kalau untuk kepentingan negara—yang kita termasuk di dalamnya, itu enggak apa-apa. Kan itu bagus, jalanan jadi bagus."

Tia Subketi dari FISIP Universitas Brawijaya menulis dalam Jurnal Transofrmative (Vol.2 No.2 September 2016), bahwa konflik semen ini menyebabkan terpecahnya masyarakat Samin dan menghasilkan perubahan tatanan sosial baru pada mereka.

Pihak semen yang menawarkan mereka pembukaan lapangan pekerjaan pada pemuda, akan mengubah profesi masyarakat Sedulur Sikep lewat unsur modernitas.

"Dikhawatirkan ini akan mempengaruhi dan melunturkan adat budaya masyarakat Samin," tulis Subekti.