Penerbitan buku yang dilakukan Perpustakaan PATABA dimulai sejak 2009 yang berawal dari penerbitan buletin independen. Penerbitan itu adalah PATABA Press yang kini berada di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.
"Saya pakai percetakan di mana-mana, ke Semarang di Pustaka Mandiri, seperti yang karya saya Dunia Samin yang sampai dapat penghargaan--bahkan mau dijadiin sandiwara oleh anak akademi di Jogja," ujarnya.
Aktivitas percetakan itu tak hanya dilakukan Soesilo sendirian, ia juga melibatkan putranya, Benee Santoso, dan istrinya, Suratiyem.
Kegiatan lainnya tak hanya dilakukan secara formal saja, melainkan di jalanan lewat program Penjara (Perpustakaan Jalanan Blora) yang kerap diadakan di alun-alun kota. Aktivitas ini juga menginspirasi komunitas punk di Blora untuk turut meningkatkan literasi masyarakat sekitar hingga kini.
Minimnya pemeliharaan
Para pengunjung pun dapat meminjam dan membacanya di tempat harus membuat tanda anggota, cukup dengan mengisi buku tamu.
Sayangnya sistem ini diakui oleh Soesilo yang menyebabkan buku koleksi perpustakaannya menyusut dan berpindah posisi. Terlebih Perpustakaan PATABA tak melarang pengunjung untuk membawa tas ke dalam ruangan sehingga terbuka.
Masalah yang dialami Perpustakaan PATABA nampak pada pemeliharaan koleksinya yang kurang diperhatikan. Hampir semua buku-buku yang ditemukan tak bersampul, rusak, dan dimakan rayap. Hal ini disebabkan tak ada tenaga pekerja pada perpustakaan keluarga ini.
Untuk mengatasi itu, Perpustakaan PATABA lebih mengandalkan pada pemberdayaan oleh berbagai kelompok sosial yang berkunjung, seperti Lempaga Penelitian Aplikasi Wacana (LPAW), Samijoyo Allstar, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blora, dan Mahameru.
Lu'lu Atuzzahroh dan Joko Wasisto dari Ilmu Kepustakaan Universitas Diponegoro dalam penelitian mengungkapkan bahwa berbagai lembaga yang berkunjung itulah yang membantu PATABA untuk tetap hidup melalui jalinan relasi, percetakan, dan penyandang dana lainnya.