Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Maret 2021 | 13:00 WIB
Soesilo Toer, pegiat PATABA di Blora. Sejak dulu hingga kini menjadikan tulisannya untuk bertahan hidup sambil mengais sampah di sekitar Blora, Jawa Tengah. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Lahir 17 Februari 1938, Soesilo Toer menghadapi masa kecil yang sangat susah bersama saudara-saudarinya dari Blora hingga ke Jakarta. Pengaduan nasib Toer bersaudara ini disebabkan kejatuhan ekonomi keluarga pasca meninggalnya sang ayah.

"Ke Jakarta aja enggak ada koper. Kita bawanya, besek (wadah tradisional dari anyaman bambu) saking melaratnya," kenang Soesilo pada National Geographic Indonesia.

Mereka pun tinggal di rumah kecil di Tanah Abang yang bahkan rumah itu tak memiliki toilet. Untuk sangu, Pram kerap memberikan uang bulanan Rp10 pada Soesilo yang menurutnya sangat tak cukup untuk biaya keperluan sekolahnya di Sekolah Taman Siswa Jakarta.

"Cari sendiri! Kamu jangan minta!" tegas Pramoedya padanya. Sehingga, ia dan kakaknya—Koesalah Soebagyo Toer—akhirnya mengikuti Pramoedya untuk menulis.

Baca Juga: Pramoedya Ananta Toer, Sang Genius nan Kontroversial Asal Blora

Lambat laun, kebiasaan menulis itu baginya telah menjadi bagian hidup dan memiliki kemampuan akademik. Inilah yang mengantarkannya untuk ikut beasiswa untuk S2 di Patrice Lumumba University, Uni Soviet pada Oktober 1962, setelah ia menikah.

Di negeri komunis itu, ia bahkan mendapatkan gelar doktor di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov. Gelar itu ia dapatkan dari beasiswa langsung dari otoritas Uni Soviet.

Namun hidup sebagai mahasiswa Indonesia di negeri itu bukanlah perkara mudah, terutama setelah terjadinya G30S 1965. Soesilo mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa Indonesia di negeri itu ternyata pesanan partai.

Akibatnya persatuan mahasiswa terpecah menjadi tiga antara PKI, PNI-kanan, dan PNI-kiri.

"Kalau saya sih bukan orang partai, jadi saya bebas dan enggak ikut kelahi satu sama lain. Masuk partai itu sama saja jadi budak," terangnya.

Seperti yang dialami oleh para mahasiswa Indonesia di luar negeri lainnya, terdapat tawaran diplomatis pemerintah supaya mendukung Soeharto sebagai presiden yang sah dan menolak paham komunisme.

"Kami anak mahasiswa dikasih 100 dolar oleh pemerintah lewat Adam Malik, itu pun sekali-kalinya seumur hidup [di Uni Soviet]," ujar Soesilo. "Ternyata isunya, Adam Malik itu katanya kaki-tangan Amerika Serikat dan mendapatkan 50 juta dolar untuk dukung Orde Baru."