Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 23 Maret 2021 | 13:00 WIB
Soesilo Toer, pegiat PATABA di Blora. Sejak dulu hingga kini menjadikan tulisannya untuk bertahan hidup sambil mengais sampah di sekitar Blora, Jawa Tengah. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Dari Ganja Hingga Gigi Dokter, Uniknya Motif Batik Khas Cepu-Blora

Selama G30S itu, mahasiswa Indonesia juga diajak untuk turut serta dalam pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI. Tetapi Soesilo memilih untuk tidak hadir, karena tak ada undangan padanya—meskipun ia mengetahui ada acara itu.

Keabsenan itulah yang diduganya sebagai sumber awal masyarakat mengaitkan dirinya dengan PKI, sehingga paspornya turut dicabut pada 1966. Masalah paspor ini membuatnya harus berusan dengan pihak keimigrasian ketika pulang pada 1973.

"Saya itu naik pesawat terakhir di Kemayoran sebelum dipindahkan ke Cengakreng. Dijemput teman sendiri, diarak kesana-ke sini, kemudian dimasukkan penjara oleh keimigrasian karena alasan paspor," jelasnya.

Meski nuansa label PKI ada padanya, ternyata ia tak ditahan dengan narapidana G30S lainnya karena perkara keimigrasiannya. Padahal ia juga dikenal sebagai adik dari Pramoedya dan Koesalah yang dibuang ke Pulau Buru akibat tuduhan PKI.

Selama di dalam penjara hingga kebebasannya pada 28 Oktober 1978, ia punya banyak kenalan yang kelak membantunya terkait dana.

Soesilo mengaku, bantuan dana itu menyentuh 1.000 dolar yang diberikan padanya dari Amnesty International, dan rekan-rekannya dari luar negeri secara diam-diam ketika menjenguknya di penjara.

Lewat uang itu, ia membuka usaha kain yang hanya berjalan setahun di Jakarta yang bangkrut karena ditipu.

Jalan lain pun ditempuh untuk menghidupi kesulitan ekonominya yang dihantui tuduhan komunisme padanya. Sekitar 1980-an, seorang teman penjaranya yang berasal dari Pontianak memberikannya uang Rp250 ribu untuk membeli motor bekas agar bisa menjual buku tulis keliling.

Baca Juga: Gajah Purba dari Blora

"Saya jualan buku tulis keliling. Dari pihak gudang, ditawarkan pada saya Rp23, saya jual Rp25. Saya jual ke Glodok malah laku Rp28 di sebuah toko alat tulis. [Bahkan] saya satu hari pernah untung Rp1 juta, dan beli rumah Rp600 ribu," katanya.

Rumah yang ia beli kemudian tergusur akibat pembangunan tol Bekasi. Penggusuran itu kemudian membuatnya menerima kompensasi yang dimanfaatkannya untuk memperbaiki rumah di Blora.

Soesilo pun memberanikan diri untuk menjadi dosen pada 1986 di Universitas 17 Agustus Jakarta. Ia mengklaim mengajar empat mata kuliah, seperti ekonomi uang dan bank, dan seminar penelitian.

Dirinya sempat dicalonkan menjadi rektor untuk salah satu universitas di Bandung. Saat itu ia merupakan anggota penelitian dan pengembangan. Tetapi pada akhirnya, ia gagal karena kekurangan pendukung, dan banyak yang berusaha menjatuhkannya.

Tuduhan yang diberikan padanya salah satunya adalah ijazah gelar doktornya yang dianggap tak legal oleh pemerintah. Ia pun lebih memutuskan untuk pensiun kembali ke Blora untuk mengurus rumah keluarganya.

Sulitnya legalisasi dokumen yang dimilikinya, Soesilo menduga ada hubungannya dengan tuduhan dirinya dengan kaitan PKI. Inilah yang kemudian membuatnya kerap mendapat cercaan.

Salah satu cercaan itu bahkan keluar dari mulut lurah tempat tinggalnya di Blora, akibat masalah sepele: "Susah bicara sama bekas tahanan G30S!"

Kini, aktivitasnya menulis buku dan menjaga perpustakaan Pataba, akronim dari "Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa". Perpusatakaan ini merupakan gagasannya bersama Koesalah setelah wafatnya Pramoedya pada 2006.

Sedangkan untuk menghidupi hidupnya sehari-hari, ia mengais sampah sekitar Blora. Upah itu membuatnya merasa cukup karena memberikan kebebasan, meski di sisi lain mendapatkan beberapa pemasukan dari penerbitan buku yang ia tulis.