Abdi membenarkan bahwa salah satu perbedaan upacara Rambu Solo di Mamasa dengan di Toraja adalah metode penyembelihan kerbaunya. "Sudah umum kita tahu itu kalau di Toraja disembelih dengan cara ditebas. Sedangkan di Mamasa sendiri, ada dua metode," ujar Abdi. "Beberapa wilayah dia menggunakan tombak pada bagian jantung. Yang kedua, disembelih seperti biasa, seperti penyembelihan pada umumnya."
Perbedaan lainnya, menurut pengamatan Abdi, adalah dari prosesi pembungkusan jenazah. "Dari yang saya lihat beberapa dari mereka di Toraja sudah menggunakan peti bulat yang diukir. Jadi tidak dalam bentuk bungkusan lagi. Sementara prosesi di Mamasa itu, mereka betul-betul masih membungkus jenazah dengan puluhan bahkan ratusan kain sehingga membentuk bulatan yang lonjong. Dan manakala bungkusan kain itu ditekan, itu seperti papan. Jadi betul-betul keras," bebernya.
Kain-kain yang dipakai untuk membungkus ini terdiri atas beberapa kain khusus dengan warna tertentu yang menggambarkan kasta sang mendiang. Juga beberapa pakaian, seperti baju dan celana, yang pernah dipakai sang mendiang semasa hidupnya.
Selain dari kain yang dipakai untuk membungkus jenazahnya, kasta dari orang yang meninggal ini juga bisa terlihat jelas dari jumlah dan jenis kerbau yang dikurbankan. Jenis kerbau yang dipilih ini nantinya akan berpengaruh juga pada harga kerbau tersebut.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kho Ping Hoo, Maestro Cerita Silat Indonesia
Abdi menuturkan bahwa harga kerbau untuk upacara Rambu Solo bisa "sangat fantastis." Secara umum, harga satu ekor kerbau untuk Rambu Solo setara dengan harga satu unit mobil.
Lebih lanjut Abdi memaparkan bahwa ada beberapa tingkatan harga kerbau berdasarkan jenis, warna, dan corak belangnya. Pemilihan jenis kerbau yang dilakukan berdasarkan kasta sang almarhum inilah yang kemudian paling mempengaruhi biaya upacara Rambu Solo.
"Mereka mengibaratkan harga satu kerbau tertinggi itu seharga (mobil) Pajero. Di bawahnya CRV. Di bawahnya lagi Avanza. Kerbau paling bawah itu misalnya Ayla. Itu, wow, saya membayangkan betapa upacara ini sangat megah," ujar Abdi.
Upara Rambu Solo ini merupakan bagian dari Aluk Todolo, agama kepercayaan leluhur di Toraja dan Mamasa. Abdi Latief mengatakan meski dirinya berasal dari daerah yang berbeda dan memiliki agama yang berbeda, orang-orang di Mamasa sangatlah baik dan ramah kepadanya.
"Ada dua hal yang menarik dari Mamasa. Yang pertama adalah keindahan alamnya. Yang kedua adalah keramahtamahan masyarakatnya," kata Abdi.
"Orang Mamasa itu menerima orang dari mana pun. Di sana saya betul-betul merasa mendapatkan keluarga baru. Karena di setiap tempat (kecamatan di Mamasa) yang saya datangi, mereka menawarkan rumahnya untuk saya tinggali. Mereka melayani kita seperti raja. Mereka menyambut kita seperti tamu agung tanpa ada rasa curiga, sehingga saya merasa kalau saya ke Mamasa itu seperti berada di rumah sendiri."
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon