Nationalgeographic.co.id—Ritual pemakaman Rambu Solo di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, telah terkenal ke dunia internasional. Namun selain di Toraja, sebenarnya ada juga ritual Rambu Solo di daerah lain, yakni di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Secara umum, Rambu Solo adalah upacara pemakaman adat yang mewajibkan keluarga almarhum membuat pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Secara harafiah, kata Rambu Solo dalam bahasa Toraja berarti asap yang turun atau arahnya ke bawah.
Sebelum melaksanakan ritual pesta Rambu Solo yang mewajibkan keluarga mendiang untuk menyembelih kerbau, ada masa tunggu dari saat alhamarhum meninggal sampai acara Rambu Solo dan akhirnya almarhum bisa dikuburkan. Selama masa tunggu itu, keluarga yang ditinggalkan harus melakukan mero' atau puasa makan nasi dan kunyit.
Selain itu, di depan rumah orang yang meninggal tersebut harus dipasang gendang sebagai tanda duka. Selain sebagai penanda ada keluarga yang sedang berduka dan menyiapkan prosesi upacara Rambu Solo, peletakan gendang di depan rumah ini juga bisa menggambarkan kasta dari orang yang meninggal berdasarkan jumlah gendang yang dipasang.
Baca Juga: Sokushinbutsu, Ritual Biksu Jepang Mengubah Dirinya Menjadi Mumi
Abdi Latief, videografer dokumenter, dan Yusuf Wahil, fotografer sekaligus kontributor foto untuk National Geographic Indonesia, menceritakan hal tersebut dalam acara Avontur Daring Kelana Mamasa Sulawesi Barat yang diadakan National Geographic Indonesia pada Sabtu (20/3/2021). Mereka pernah beberapa kali mengikuti ritual Rambu Solo di Mamasa. Keduanya juga pernah mengabadikan prosesi ritual tersebut dalam banyak video dan foto.
Ada beberapa perbedaan antara acara ritual Rambu Solo di Mamasa dan di Toraja. Menurut Ucup, sapaan Yusuf Wahil, yang sangat beda adalah cara penyembelihan kerbaunya. "Ketika di Toraja menggunakan parang, ditebas (ke leher). Sedangkan di Mamasa itu ditusuk menggunakan tombak. Itu yang sangat jelas bedanya." jelasnya.
"Dan jumlah kerbau yang dikurbankan (di Mamasa) juga tidak sedahsyat yang ada di Toraja. Kalau di Toraja jumlahnya bisa puluhan sampai ratusan. Sedangkan kalau di Mamasa lebih cenderung untuk mempertahankan kultur dan budaya saja," papar Ucup. Jadi, menurut Ucup, kerbau yang dikurbankan di Mamasa berjumlah secukupnya, tidak berlebihan seperti di Toraja yang bisa sampai ratusan ekor.
Baca Juga: Eskperimen Ekstrem: 15 Orang Mengisolasi Diri di Gua Selama 40 Hari
Abdi membenarkan bahwa salah satu perbedaan upacara Rambu Solo di Mamasa dengan di Toraja adalah metode penyembelihan kerbaunya. "Sudah umum kita tahu itu kalau di Toraja disembelih dengan cara ditebas. Sedangkan di Mamasa sendiri, ada dua metode," ujar Abdi. "Beberapa wilayah dia menggunakan tombak pada bagian jantung. Yang kedua, disembelih seperti biasa, seperti penyembelihan pada umumnya."
Perbedaan lainnya, menurut pengamatan Abdi, adalah dari prosesi pembungkusan jenazah. "Dari yang saya lihat beberapa dari mereka di Toraja sudah menggunakan peti bulat yang diukir. Jadi tidak dalam bentuk bungkusan lagi. Sementara prosesi di Mamasa itu, mereka betul-betul masih membungkus jenazah dengan puluhan bahkan ratusan kain sehingga membentuk bulatan yang lonjong. Dan manakala bungkusan kain itu ditekan, itu seperti papan. Jadi betul-betul keras," bebernya.
Kain-kain yang dipakai untuk membungkus ini terdiri atas beberapa kain khusus dengan warna tertentu yang menggambarkan kasta sang mendiang. Juga beberapa pakaian, seperti baju dan celana, yang pernah dipakai sang mendiang semasa hidupnya.
Selain dari kain yang dipakai untuk membungkus jenazahnya, kasta dari orang yang meninggal ini juga bisa terlihat jelas dari jumlah dan jenis kerbau yang dikurbankan. Jenis kerbau yang dipilih ini nantinya akan berpengaruh juga pada harga kerbau tersebut.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kho Ping Hoo, Maestro Cerita Silat Indonesia
Abdi menuturkan bahwa harga kerbau untuk upacara Rambu Solo bisa "sangat fantastis." Secara umum, harga satu ekor kerbau untuk Rambu Solo setara dengan harga satu unit mobil.
Lebih lanjut Abdi memaparkan bahwa ada beberapa tingkatan harga kerbau berdasarkan jenis, warna, dan corak belangnya. Pemilihan jenis kerbau yang dilakukan berdasarkan kasta sang almarhum inilah yang kemudian paling mempengaruhi biaya upacara Rambu Solo.
"Mereka mengibaratkan harga satu kerbau tertinggi itu seharga (mobil) Pajero. Di bawahnya CRV. Di bawahnya lagi Avanza. Kerbau paling bawah itu misalnya Ayla. Itu, wow, saya membayangkan betapa upacara ini sangat megah," ujar Abdi.
Upara Rambu Solo ini merupakan bagian dari Aluk Todolo, agama kepercayaan leluhur di Toraja dan Mamasa. Abdi Latief mengatakan meski dirinya berasal dari daerah yang berbeda dan memiliki agama yang berbeda, orang-orang di Mamasa sangatlah baik dan ramah kepadanya.
"Ada dua hal yang menarik dari Mamasa. Yang pertama adalah keindahan alamnya. Yang kedua adalah keramahtamahan masyarakatnya," kata Abdi.
"Orang Mamasa itu menerima orang dari mana pun. Di sana saya betul-betul merasa mendapatkan keluarga baru. Karena di setiap tempat (kecamatan di Mamasa) yang saya datangi, mereka menawarkan rumahnya untuk saya tinggali. Mereka melayani kita seperti raja. Mereka menyambut kita seperti tamu agung tanpa ada rasa curiga, sehingga saya merasa kalau saya ke Mamasa itu seperti berada di rumah sendiri."
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon