Candi-candi Marjinal dan Upaya Menyelamatkan Peradaban yang Terancam

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 08:00 WIB
Candi Lumbung Sengi, Magelang, dibangun pada abad ke-9. Para arkeolog sedang mengupayakan pemindahan candi ke tempat yang aman dari erosi sungai. (Dwi Oblo)

Nationalgeographic.co.id—Oktober 2011. Senja itu bayangan panjang pucuk pepohonan menari-nari di atas Candi Lumbung Sengi, Dusun Tlatar, Magelang, Jawa teng­ah. Candi ini tak lagi utuh. Di bawah kain biru yang ujungnya tertambat di batang pohon, belasan pekerja bermasker dan bermandikan peluh lalu-lalang membongkar candi nan sakral itu. Beberapa orang menuangkan tanah ke samping candi dengan ember hitam, yang lain bersusah payah memindahkan bebatuan. Tak jauh dari candi yang kini hanya sedikit lebih tinggi dari orang dewasa, enam batu bertatah mengantre dengan sabar di atas papan. Batuan itu menunggu disorong satu per satu ke atas truk di bawah tebing sisi selatan.

Berjarak tepat satu rentang lengan orang dewasa dari pojok candi di tenggara, tepian jurang sedalam lima lantai bangunan menunggui candi dengan setia. Nun jauh di bawah sana, aliran Kali Apu meliuk melarikan diri dari Gunung Merapi. Sementara itu, sang waktu pun berlari menuju musim pengujan. Setengah jam kemudian truk membawa pergi batu berukir cantik itu menjauhi sungai.

Bagi banyak orang, memindahkan candi adalah hal yang amat tabu. Akan tetapi para pekerja yang terengah-engah itu tahu, mereka harus berpacu dengan sang waktu.

Material lahar dingin dari letusan Gunung Merapi pada 2010 menghancurkan dam-dam di Kali Apu, menggerus dasarnya sedalam tiga hingga lima meter, dan menutup alirannya di beberapa bagian. Juga melumatkan talut beton di tebing Candi Sengi, tepat di belokan sungai.

Melalui perhitungan dan pengkajian yang alot, akhirnya para ahli arkeologi, geologi, budaya, juga pihak pemerintah setempat pun sepakat untuk menyelamatkan candi ini ke tempat yang lebih aman.

Sekitar 350 meter dalam garis lurus dari titik asal candi itu berada, Wagiyo, tenaga ahli dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berdiri dikelilingi tumpukan batu. Setumpuk batu untuk bagian cungkup atau atasnya, dan tumpukan-tumpukan lain sesuai dengan lapisannya masing-masing. Semua bertebaran di atas kolam yang telah diuruk dilengkapi konstruksi beton bertulang, milik Kepala Dusun Tlatar.