Candi-candi Marjinal dan Upaya Menyelamatkan Peradaban yang Terancam

By Titania Febrianti, Sabtu, 27 Maret 2021 | 08:00 WIB
Candi Lumbung Sengi, Magelang, dibangun pada abad ke-9. Para arkeolog sedang mengupayakan pemindahan candi ke tempat yang aman dari erosi sungai. (Dwi Oblo)

Pemindahan candi berdampak positif pada pemugaran. Penemuan dua puluh batu yang jatuh bertaburan membuat ahli arkeologi menemukan kembali bagian-bagian atapnya, walaupun tak semua. Kami pun berjongkok di depan batu-batu penyusun kulit candi, yaitu bagian terluar dengan tatahan relief. Wagiyo mengisahkan kepada saya bagaimana cara mengembalikan batu-batu yang telah hilang ini kembali ke tempatnya semula, yang tak diketahui di mana letak pastinya. “Batu-batu ini ada penandanya di bagian bawah,” ucap pria paruh baya ini sambil menilik sebuah batu. Telunjuknya mengarah ke cekungan yang ada pada batu. Artinya, batu itu akan cocok dengan batuan yang menonjol di bagian atasnya. Ujung jarinya pun bergerak ke penanda lain berbentuk tapak kaki burung. Membuat saya terpana akan teknologi konstruksi masa lalu.

Candi Lumbung Sengi kemungkinan merupakan pendarmaan bagi Bhatara di Salingsingan. Ada tiga candi Hindu di Kompleks Candi Sengi, yaitu Candi Asu, Pendem, dan Lumbung sendiri. Seperti Candi Pendem yang terkubur dan tak utuh, dulu Candi Lumbung terletak enam meter di bawah permukaan tanah yang sekarang difungsikan oleh penduduk sebagai sawah. Menurut para ahli, material dari letusan Gunung Merapi-lah yang perlahan-lahan mengubur kompleks ini sejak dibangun pada abad ke sembilan Masehi.

Seorang ibu pulang dari ladang melewati jalan berlatar belakang Candi Lumbung Sengi di tempatnya yan (Zika Zakiya)

Siang 11 Desember 2009 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan Ahmad Saifudin. Saat hendak melaksanakan salat Jumat, ponselnya berdering. Anak buahnya melaporkan bahwa alat berat yang digunakan mengeruk tanah terantuk sebuah struktur bangunan batu yang amat rapi. Saifudin adalah seorang arsitek kepala pada proyek pem­bangunan perpustakaan di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Pertimbangan alot berlangsung antara sang arsitek, pejabat rektorat, serta pihak Yayasan Badan Wakaf UII. Keputusan akhir yang dicapai ialah menghubungi BP3 Yogyakarta.

Keesokan harinya, Tim BP3 melakukan survei ke lokasi pembangunan. Pada kedalaman 2,7 meter mereka menemukan struktur bangunan dari batuan andesit dengan pahatan yang halus, termasuk satu buah antefiks (bentuk hiasan candi) sudut serta lima buah batu padma. Kesepakatan pun dicapai antara BP3 Yogyakarta dan Yayasan Badan Wakaf UII sebagai pemilik aset dan pelaksana proyek: kegiatan pembangunan gedung perpustakaan dihentikan sementara.

Berhari-hari selanjutnya, kegiatan yang berjalan di lapangan benar-benar jauh dari apa yang pernah dibayangkan oleh Saifudin sebelumnya. Alat pengeruk backhoe tetap dimanfaatkan, namun kali ini untuk mengupas lapisan tanah sedalam dua meter di area pembangunan yang berukuran hampir seluas dua kali lapangan voli. Minggu-minggu berikutnya, area itu dipenuhi oleh ahli arkeologi, geologi, biologi, dan teknik sipil yang sibuk berseliweran mengadakan penelitian.

Apa yang ditemukan selama 35 hari berikutnya mungkin merupakan hal yang biasa dalam dunia arkeologi: Candi induk dan candi perwara (candi yang lebih kecil), dua lingga yoni, dua arca Ganesha (yang satu belum dipahat sempurna), dan sebuah arca Nandi (kendaraan Dewa Siwa). Juga wadah gerabah dan perunggu, lingga penunjuk arah, serta kotak-kotak sajen berupa peripih berisikan biji-bijian dan emas. Namun yang membuat para ahli tercengang, semua ditemukan dalam keadaan amat utuh, termasuk pagar dari batuan andesit gundul yang seharusnya mudah hancur diterpa material Merapi.

Dengan penemuan candi yang diberi nama Kimpulan sesuai dengan nama dusun tempatnya berdiri, tantangan berikutnya yang dihadapi oleh Saifudin lebih besar lagi. Ia harus memutar otak untuk merombak rancangan awal gedung yang berbentuk kotak tersebut dan mendesainnya kembali agar seluruh kepentingan bisa terpenuhi.

Candi Lumbung Sengi, Magelang, dibangun pada abad ke-9. Para arkeolog sedang mengupayakan pemindahan candi ke tempat yang aman dari erosi sungai. (Dwi Oblo)