Meramal 342 Musim Nusantara, Zona-zona Kesuksesan Pertanian Indonesia

By Titania Febrianti, Minggu, 28 Maret 2021 | 10:00 WIB
Petani di Desa Ciloto, Kabupaten Cianjur, mulai menanam benih pada petak lahan yang telah digemburkan. Informasi pertanian seperti curah hujan, masa tanam terbaik, maupun masa panen kini dapat mereka peroleh melalui apa yang disebut Kalender Tanam Terpadu (KATAM). (Yunaidi Joepoet)

Ia tahu bahwa kedatangan musim kemarau tak akan sama dengan tahun sebelumnya. Tetapi, ia juga tak tahu hingga kapan harus menunggu saat yang tepat untuk menanam padi. Ia khawatir, padinya terlalu banyak terendam air jika menanam pada waktu yang salah. "Di sini, justru air banyak menggenang saat hujan, dan itu sangat jelek untuk padi," ungkap Pepen Permana, penyuluh pendamping Samsudin.

Pada suatu pagi di pengujung Agustus silam, Haryono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, memberikan gambaran, "Jika dipandang sebagai suatu sistem, pertanian itu sangat kompleks. Apalagi saat dunia diganggu dengan perubahan iklim seperti sekarang. Anda bisa bayangkan, bagaimana susahnya seluruh petani di Indonesia jika ingin menanam dalam kondisi cuaca tak menentu seperti sekarang ini?"

Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional, ia membentuk tim untuk mengembangkan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu—KATAM. Diluncurkan sejak 2011, yang dapat diakses melalui internet, sistem ini memandu penyuluh dan petani hingga tingkat kecamatan untuk mengelola kegiatan budi daya tanaman pangan secara tepat.

Haryono dan timnya tak berhenti sampai di sana. Tahun ini, ada dua informasi baru dalam KATAM: Pemantauan sawah melalui CCTV di 48 kecamatan dari Lampung hingga Bali, serta teknologi penginderaan jarak jauh, yakni MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).

Negara Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Namun, apakah sebutan itu menjadi kekuatan negeri ini? (Maulana N/Fotokita.net)

CCTV akan memotret perkembangan padi menggunakan sistem dasarian—jangka waktu per sepuluh hari, dan menampilkannya di laman KATAM. Sementara teknologi MODIS memanfaatkan satelit yang memotret Bumi dari jarak 10-15 kilometer, memantau perkembangan padi di lahan sawah irigasi.

"Selanjutnya, data-data ini akan disatukan dengan data prediksi curah hujan. Jadi kita bisa tahu apakah suatu daerah rawan kekeringan atau tidak," jelas Haris. Dari hasil inilah baru diketahui kebutuhan pupuk dan air pada masa tersebut. "Dengan demikian, distribusi sarana pertanian menjadi efektif," lanjutnya.

Hebatnya, petani hanya membutuhkan telepon genggam untuk mendapatkan informasi lengkap. Mereka berharap, cakupan KATAM bisa dipersempit menjadi ruang lingkup desa. Penyebaran informasi KATAM kepada para petani baru berjalan tiga tahun. Penyuluhan masih terus berjalan di seluruh daerah. Hingga kini, belum ada angka statistik yang bisa membuktikan keefektifan KATAM bagi petani. Namun, melalui para penyuluh, petani mengaku amat terbantu dengan informasi ini.

Bagi Samsudin, tahun-tahun penuh ke­bimbangan itu berlalu sudah. Kini, ia bisa me­nanam dan mengelola lahannya tanpa rasa waswas. Sudah seharusnya kita menyadari, perut kita juga tergantung dari kerja keras para petani, orang-orang yang berusaha mengelola Ibu Pertiwi yang memberi napas kepada lebih dari 250 juta manusia di atasnya.

Feature "Meramal '342 Musim' Nusantara" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi November 2014