Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 31 Maret 2021 | 09:00 WIB
Dalam kecamuk perang gerilya, Kapten Sudarto dikisahkan telah jatuh cinta kepada dua gadis selama perjalanan nan panjang ini: seorang gadis asal Jerman dan seorang gadis juru rawat. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

“Kulihat prajurit TNI, sedang bersusah hati. Air matanya berlinang, karena tak ada nasi,” senandung seorang pejuang dalam sinema Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 1950. Usia telah melunturkan gambar dan suara film itu, namun pesan cerita dan gagasannya masih menjadi wacana hingga hari ini.    

Darah dan Doa berkisah tentang situasi hijrahnya Tentara Nasional Indonesia dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada awal 1949 setelah rentetan penyerangan Belanda dalam Aksi Polisional. Para prajurit Divisi Siliwangi beserta keluarga mereka menyusuri perjalanan nan panjang dalam medan berat. Kekurangan pangan dan cidera merupakan keniscayaan dan sekaligus ancaman bagi mereka. 

Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta

Film Darah dan Doa Film ini didanai seratus persen dari modal milik orang Indonesia—berbeda dengan film-film sebelumnya. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Dalam kecamuk perang gerilya, Kapten Sudarto dikisahkan telah jatuh cinta kepada dua gadis selama perjalanan nan panjang ini: seorang gadis asal Jerman dan seorang gadis juru rawat. Sang Kapten juga telah difitnah oleh rekan seperjuangannya, mendekam dalam penjara. Dalam situasi kesalahpahaman, Sudarto tewas ditembak oleh anggota partai komunis yang pernah memberontak pada 1948.