Dari Gagasan Film Indonesia Pertama Sampai Nasionalisme Kemenyan

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 31 Maret 2021 | 09:00 WIB
Dalam kecamuk perang gerilya, Kapten Sudarto dikisahkan telah jatuh cinta kepada dua gadis selama perjalanan nan panjang ini: seorang gadis asal Jerman dan seorang gadis juru rawat. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Pemutaran perdananya menanti waktu yang tepat lantaran semua orang berpolemik—meributkan sesuatu yang belum mereka tonton. Pada akhirnya, Bung Karno mengambil keputusan untuk mengizinkan peredaran film ini. “Dalam sejarah di Republik kita,” Rizal berkata, “mungkin satu-satunya film yang diputar di istana adalah film Darah dan Doa, setelah itu tidak ada lagi.” 

“Film ini, menurut saya, inspirasinya tetap dari cerita yang semula digagas oleh Sitor,” tutur Rizal. Namun, imbuhnya, “di film ini bukan Sitor yang menulis skenario, tetapi Usmar.” Lebih dari dua windu silam, Rizal telah menuntaskan studinya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan kajian Sitor Situmorang: Biografi Politik 1956-1967.

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Pemutaran perdananya menanti waktu yang tepat lantaran semua orang berpolemik—meributkan sesuatu yang belum mereka tonton. Pada akhirnya, Bung Karno mengambil keputusan untuk mengizinkan peredaran film ini. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

“Sangit saja baunya tapi tidak ada satu tawaran yang bisa membuat kita berpikir nation itu seperti apa sih,” ujar JJ Rizal.

Dalam diskusi diungkapkan juga bahwa gagasan kisah yang bisa dipetik dari sinema ini bukanlah perang istimewa, melainkan aspek inisiatif bergotong-royong dalam kewajiban merawat kebudayaan justru ketika usia Republik Indonesia masih sangat muda. Usmar, Sitor, dan para pendukung film ini tampaknya telah berpikir bahwa merawat kebudayaan merupakan urusan yang sangat penting karena kebudayaan merupakan ruang-dalam dari suatu bangsa.

“Mereka adalah orang-orang yang menyediakan punggungnya untuk memikul apa yang seharusnya dikerjakan oleh negara—yakni mengurus kebudayaan—tetapi tidak dikerjakan oleh negara,” Rizal berkata. Sebuah ironi yang menurutnya masih terjadi hingga hari ini.

Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai 'Salam Djempol' di Jawa

Gagasan kisah yang bisa dipetik dari sinema ini bukanlah perang istimewa, melainkan aspek inisiatif bergotong-royong dalam kewajiban merawat kebudayaan justru ketika usia Republik Indonesia masih sangat muda. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Diskusi tentang nasionalisme atau karakter bangsa dalam sebuah film, Rizal mengatakan, jauh lebih menarik pada zaman awal berdirinya Republik ini ketimbang zaman sekarang. Menurutnya, selama ini deretan film yang mengangkat nama-nama besar pahlawan, tampaknya lebih banyak memberikan indoktrinasi ketimbang proses pengembangan daya kritis kita untuk menjawab pertanyaan apa makna sebuah bangsa.

“Kita bisa memakai istilahnya Bung Karno bahwa nasionalisme kita hari ini adalah nasionalisme kemenyan,” ujarnya. “Sangit saja baunya tapi tidak ada satu tawaran yang bisa membuat kita berpikir nation itu seperti apa sih.”

Baca Juga: Menelusuri Kapal Perang Dunia II Belanda yang Terbenam di Laut Jawa

(Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Setidaknya terdapat dua film lainnya yang terinspirasi oleh karya sastra Sitor Situmorang. Film Naga Bonar (1987) yang diadaptasi dari cerpen Pertempuran, dan film Bulan di Atas Kuburan (1973) yang diadaptasi dari salah satu sajak Sitor yang terkenal pada 1950-an. Pada 1956-57 Sitor melanjutkan studinya dalam bidang sinematografi di University of California. Sempat mendekam dalam penjara tanpa pengadilan pada 1967-76. Sang legenda itu wafat di Apeldoorn, Belanda, pada 20 Desember 2015, dalam usia 91 tahun.  

Baca Juga: Ayo Kenali Tiga Tokoh yang Mengibarkan Bendera Merah Putih Untuk yang Pertama Kali

Pemutaran perdananya menanti waktu yang tepat lantaran semua orang berpolemik—meributkan sesuatu yang belum mereka tonton. Pada akhirnya, Bung Karno mengambil keputusan untuk mengizinkan peredaran film ini. (Darah dan Doa/Pusat Film Negara)

Artikel ini pertama kali terbit pada 22 April 2015 dengan judul Film Indonesia dan Nasionalisme Kemenyan.