Nationalgeographic.co.id—Sebuah perbincangan jelang perayaan 73 tahun buku Indonesia Dalem Api dan Bara. Kronik Kota Malang, perjalanan menyingkap misteri biografi Tjamboek Berdoeri, dan analisis bahasanya.
Nama pedengan “Tjamboek Berdoeri” pernah muncul di koran Pewarta Soerabaia pada 1924. Pada tahun itu pula sang pemilik nama pedengan itu pernah memaparkan makna namanya, yakni “sendjata di poerbakala boeat siksa orang-orang hoekoeman pada zaman itoe masih biadab.”
Nama pedengan itu kembali muncul dalam sebuah catatan kesaksian tentang suasana Surabaya dan Malang sekitar 1941, zaman resah gelisah bercampur suka cita selama pendudukan Jepang, hingga pembantaian orang-orang Tionghoa di Mergosono pada Juli 1947. Kesaksian itu terekam dalam sebuah buku yang ceritanya membangkitkan minat insani. Ada penuturan jenaka sampai durjana, getir sampai satir, dan ironi sampai tragedi. Judulnya, Indonesia Dalem Api dan Bara, yang terbit pada November 1947.
Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai “Salam Djempol” di Jawa
Buku itu sungguh misterius karena terbit tanpa mencantumkan nama penerbit dan percetakannya. Namun seseorang bernama Kwee Thiam Tjing telah memberikan kata pengantar singkat pada buku itu. Dia mengaku mendapat naskah itu dari seorang kenalan.
Pada 2004, Indonesia Dalem Api dan Bara diterbitkan kembali oleh penerbit Elkasa—atas prakarsa Profesor Bennedisct O.R.G. Anderson, Arief Widodo Djati, dan Stanley. Belakangan, mereka berhasil mengungkap bahwa buku itu diterbitkan oleh Perfektas, sebuah penerbitan di Kota Malang. Penerbitan kembali buku ini juga berhasil menyingkap sosok misterius Tjamboek Berdoeri, yang ternyata adalah Kwee Thiam Tjing sendiri.
Benn Anderson mengungkapkan dalam kata pengantar penerbitan kembali itu bahwa Kwee terbilang jurnalis yang memiliki pemikiran kritis. Perangainya pun dikenang cukup brutal dan avonturir. Dia seorang yang progresif, salah satunya kerap menyebut orang pribumi sebagai Indonesier kendati saat itu Indonesia belum merdeka. Pun, sekurang-kurangnya sembilan delik pers membelenggunya. Sedikit mujur, enam kasusnya diputus bebas, selebihnya harus menjalani sepuluh bulan dalam kurungan.
Jurnalis kampiun ini kelahiran Pasuruan, 9 Februari 1900. Dia wafat di Jakarta pada 28 Mei 1974, lalu dimakamkan di Landhoff Tanah Abang I. Sayangnya, perkembangan kota telah menggusur peristirahatan terakhir Si Tjamboek Berdoeri.
Dalam Bincang Redaksi-16, National Geographic Indonesia bersama narasumber akan mengungkap betapa pentingnya buku Indonesia Dalem Api dan Bara sebagai pelengkap historiografi Indonesia. Perbincangan juga akan mengungkap aspek kronik Kota Malang yang direkam Kwee pada akhir masa Hindia Belanda, pendudukan Jepang, hingga kisah di balik Agresi Militer I pada 1947.
“Aku iki Tjino rek! Doedoe Londo!?” demikian Kwee menulis dalam bahasa Jawa Timuran. Kita juga akan membahas aspek kebahasaan buku Indonesia Dalem Api dan Bara yang terbilang menarik. Kwee memang piawai dalam menggunakan alih kode, yang seringkali untuk menunjukkan identitas budaya. Dalam konteks ini sejatinya dia ingin menunjukkan bahwa dia bukan antek Belanda.
Kita akan menguraikan bagaimana riwayat hidup Kwee Thiam Tjing. Mengapa sosoknya nyaris terlupakan dalam perjalanan jurnalisme kita?
Bincang Redaksi-16 menampilkan tiga narasumber tamu: FX Domini BB Hera, Sejarawan di Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya; Arief Widodo Djati, Editor Indonesia Dalem Api dan Bara (2014) dan peneliti biografi Tjamboek Berdoeri; dan Nurenzia Yanuar, Ahli Linguistik, Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang.
Silakan, Sahabat bisa mendaftar via pranala bit.ly/bincangredaksi16 untuk bersama menyingkap sisik melik Kwee Thiam Tjing alias Tjamboek Berdoeri dan kaitannya dengan kronik revolusi Indonesia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR