Nationalgeographic.co.id—Jurnalis bernama pedengan Tjamboek Berdoeri memberikan kesaksian suasana resah dan suka cita warga Kotapraja Malang jelang kedatangan bala tentara Jepang.
“Di djaman bendera Hinomaru baroe berkibar di Malang, memang terdjadi banjak hal-hal jang kadang-kadang bisa bikin orang ketawa geli [...],” tulis Tjamboek Berdoeri. “Bisa bikin orang mengelah napas, mala bisa bikin orang djadi djeri dan mengkirik batang lehernya.”
Ketika Hindia Belanda tamat, timbul keresahan nan mencekam bagi orang-orang Tionghoa. Kabar kedatangan Jepang itu diikuti dengan perampokan, yang sebagia besar tertuju pada rumah-rumah warga Tionghoa.
Namun, sederet kasus menunjukan tentara-tentara Jepang-lah yang memulai mendobrak paksa toko dan rumah warga Tionghoa untuk mengambil barang. Pemandangan ini, menurut Tjamboek, disaksikan oleh orang-orang Indonesia, yang pada akhirnya ikut-ikutan merampok. Kenyataan inilah yang membuat Tjamboek begitu yakin bahwa militer Jepang sengaja hendak menumpas orang-orang Tionghoa.
Baca Juga: Perang Dunia Kedua dan Takdir
“Mala dibanjak tempat jang ketjil, pakean jang melengket pada badan djoega dipaksa boeat dilolosken,” tulis Tjamboek. Tida jarang saja denger, jang prempoean-prempoean Tionghoa sampe kepaksa moesti toetoepi toeboehnja dengen tiker meloloe kerna antero pakean jang dipake , diblodjotin hingga telandjang bolat.”
Tjamboek Berdoeri menulis kesaksiannya dalam buku Indonesia Dalem Api dan Bara, terbit pada November 1947—tanpa mencantumkan nama penerbit dan percetakannya. Pada 2004, buku itu diterbitkan kembali oleh penerbit Elkasa—atas prakarsa Profesor Ben Anderson, Arief W. Djati, dan Stanly.
Jelang kedatangan Jepang di Kotapraja Malang, suasana kota tersiar beragam kabar angin tentang perangai militer Jepang. Orang Tionghoa, Belanda, dan Jawa masing-masing memiliki gambaran sendiri tentang bala tentara dari negeri matahari terbit itu.
Orang Tionghoa dan Belanda kebanyakan memiliki bayangan seram tentang militer Jepang. Mereka beranggapan bahwa militer Jepang memiliki perangai yang beringas—terutama terhadap perempuan. Keluarga Si Tjamboek umpamnya, para perempuannya berdandan aneh. Ada yang sengaja berpenampilan dengan rambut kusut, berbusana kumuh, sampai muka yang dicoreng-moreng. “Katanja serdadoe-serdadoe Djepang itoe boewas, hingga djika kaliatan orang prempoean jang sedikit loemajan, bisa dibawa begitoe sadja, zonder orang bisa bantah apa-apa,” tulisnya.
Kengerian itulah yang mendorong para perempuan berdandan seadanya—lebih tepatnya menyamar sebagai sosok tak sedap dipandang. Tujuannya, tidak menarik perhatian. Boleh jadi mereka khawatir bakal terulangnya peristiwa Nanking pada 1939, yang kemudian diikuti rekrutmen “ianfu” di negara-negara yang ditaklukkan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Baca Juga: Tenggelamnya Kapal Poelau Bras Jelang Tamatnya Hindia Belanda
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR