Sementara, orang-orang Jawa justru sebaliknya. Mereka menganggap kedatangan Jepang telah membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Lelaki dan perempuan segala usia berarak menuju Alun-alun Kota Malang demi menyambut bala tentara Jepang. Mereka menyambut dengan kain merah-putih yang dienakan sebagai dasi atau dikalungkan di leher.
“Jang dateng itoe toch ada soedaranja jang perna toewa dan di mana ada soedara toewa jang sengadja maoe bikin soesa pada soedaranja jang lebi moeda?” demikian kata Si Tjamboek menanggapi prapaganda di kotanya. “Soedara jang djoestroe lagi menanti-nantiken kedatengannja sang kangmas tertjinta?”
Salah satu propaganda Jepang untuk menarik simpati orang-orang Indonesia adalah pengakuan bahwa mereka merupakan saudara tua kita. Pengakuan itu tersiar dan tersebar melalui poster-poster yang ditempelkan di sudut-sudut kota. Bagi Si Tjamboek, propaganda ini sungguh menggelikan. Bagaimana bisa Jepang mengaku-aku sebagai saudara tua orang Indonesia, demikian pikirnya.
Tjamboek mengakui kecerdikan Jepang dalam merayu simpati orang Indonesia, meski dalam kesempatan yang sama juga mengungkapkan kelakar seputar propaganda itu. Sejatinya kelakar ini ditujukan pada orang-orang Indonesia yang begitu mudahnya terbuai menerima pernyataan Jepang. “Bagaimana masih bisa ketemoeken soedaranja asal dari satoe pokok, dari satoe darah dan satoe toeroenan itoe, jang begitoe lama kesasar begitoe djaoe ka djoeroesan kidoel, di mana hawanja ada lebi panas,” ungkapnya, “sehingga warna koelitnja ini verloren broeder sampe kaliatan mendjadi sawo-mateng.”
Jurnalis ini memiliki pemikiran kritis, boleh dibilang sangat kritis pada masanya. Barangkali, kita pun tidak sekritis Tjamboek Berdoeri ketika menerima pelajaran di bangku sekolah tentang propaganda “saudara tua” bikinan Jepang. Propaganda itu seolah muslihat yang berhasil membuat kita teperdaya.
Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Pada kenyataannya, banyak orang teperdaya dengan propaganda “saudara tua”, yang kerap disalahartikan oleh orang-orang Indonesia pada saat itu. Mereka menganggap militer Jepang layaknya saudara, padahal kenyataannya tidak. Militer, khususnya Kenpetai, kerap memberikan hukuman yang sewenang-wenang dan tidak manusiawi untuk satu perkara sepele. Perkara sepele itu misal seseorang lupa memberikan hormat membungkuk kepada tentara penjaga, atau tidak tahu bahwa ada keharusan untuk turun dari sepeda untuk menghormat mereka, atau kesalahan dalam membuat bendera Hinomaru.
“Si madjikan baroe ini soedah rojaal betoel dengen maen persen tempilingan,” tulisnya. Di kesempatan lain dia memaparkan, “Roepanja banjak djoega di antara sobat dan kenalan saja jang soeda perna berkenalan lebi rapet sama Djepang poenja tangan, djika ditilik dari tjaranja marika bila berpapasan sama si Kate.” Zaman Jepang , menurutnya, adalah zaman edan. Dia mengatakan, “Selamanja bendera Hinomaru berkibar dari Sabang sehingga Merauke, habislah segala kamardikaan kita lahir dan bathin.”
Selain propaganda “saudara tua” pada awal kedatangan militer Jepang, juga ada tradisi baru yang cepat menjadi populer: “salam djempol”. Ketika orang Indonesia berpapasan dengan tentara Jepang, dia akan mengangkat jempolnya ke atas. Lalu tentara Jepang itu akan membalas mengangkat jempolnya juga. Begitu juga saat orang Indonesia berjumpa dengan orang Indonesia lainnya, mereka akan sama-sama mengangkat jempolnya. Barangkali tidak jauh berbeda pada masa sekarang, salam jempol kerap dipakai orang saat berfoto. “Salam djempol di hari-hari pertama memang mendjadi sematjem mode,” ungkap Tjamboek. “Dalem sedjarah negeri Mata Hari Terbit waktoe itoe bole djadi akan tertjatet sebagi djempol periode.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR