Nationalgeographic.co.id—Apakah perang selamanya merusak? Mengingat kondisi hari ini, seperti ketegangan antara Iran dan Israel dan Rusia dan Ukraina, perang memberikan dampak kerusakan masif.
Tidak hanya fasilitas militer, peperangan memberikan kerusakan parah terhadap fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah. Ledakan senjata pun dapat mengincar siapa saja, tidak peduli apakah militer atau sipil. Pada akhirnya, masyarakat sipil yang tidak punya kapasitas berperang jadi korbannya.
Padahal, sejak PBB berdiri, ada banyak konvensi terkait etika perang modern. Pada 1948, PBB merumuskan konvensi untuk mengkriminalisasi pelaku genosida.
Kemudian ada pula Deklarasi HAM Universal dirumuskan melibatkan norma-norma dari pelbagai kebudayaan. Dari konvensi dan deklarasi tersebut, PBB juga merumuskan Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang harus dipatuhi anggotanya pada 1949.
Namun, apakah semua peraturan dan deklarasi ini berjalan lancar sebagai etika berperang universal? Kenyataannya tidak demikian. Belakangan perang muncul akibat arogansi pemimpin negara dan lemahnya peran PBB. Genosida terhadap warga Gaza, misalnya. Meski telah dikecam pelbagai negara di seluruh dunia, namun proses keadilannya berjalan buntu.
Ketika Perang Masih Beretika
Setiap masa punya etika yang berbeda-beda. Ada kalanya perang dijalankan mengikuti aturan etis yang dibentuk dari ajaran filosofis dan agama.
Undang-undang Hammurabi (Code of Hammurabi) diketahui sebagai peraturan tertua tertulis tentang peperangan dari Babilonia kuno, sekitar 1750 SM. Meski tidak spesifik mengenai isu perang, peraturan ini membahas perlindungan selama konflik terhadap tahanan dan infrastruktur publik.
Hampir serupa dengan hari ini, perang dimulai dari sebuah deklarasi. Bedanya, penyerangan tidak langsung dilakukan, melainkan dibuka melalui tradisi kesenian atau ritual keagamaan. Hal ini disebabkan kehidupan peradaban terdahulu tidak memisahkan antara politik dan agama.
Kekaisaran Romawi, misalnya, perang biasanya dimulai dengan lemparan tombak melintasi batas. Tindakan ini hanya ritual simbolis yang menandakan bahwa prajurit Romawi akan melakukan penetrasi dan menandakan tindakan etis berdasarkan bellum iustum (perang yang adil).
Baca Juga: Dunia Tanpa Perang: Apa yang Terjadi Jika Bumi Menjadi Damai Sepenuhnya?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR