Wihara Dharmakaya, Riwayat Arsitektur Eropa di Klenteng Pecinan Bogor

By Agni Malagina, Sabtu, 3 April 2021 | 09:00 WIB
Wihara Dharmakaya di Jalan Siliwangi, kawasan pecinan Bogor. Awalnya merupakan tempat peristirahatan keluarga Tionghoa asal Kwitang, Batavia—kini Jakarta Pusat—pada awal abad ke-20. Kemudian didarmakan untuk biara. Pada awal 1940-an, klenteng ini dikelola oleh seorang biarawati atau suhu wanita yang bernama Tan Eng Nio. (Agni Malagina)

 Dalam tradisi Cina, naga merupakan simbol kekuatan “Yang” dan simbol kesuburan. Naga pun dapat dimaknai sebagai lambang supremasi kekuatan tertinggi dalam dunia mitologi Cina. Sementara, imaji bulatan berambut api dapat diinterpretasikan sebagai mutiara, matahari, atau bulan. Tidak seperti klenteng lain, tak ada ukiran dan pahatan motif poenix, naga atau bunga dedaunan pada bubungan atap Wihara Dharmakaya. Dua singa penjaga gerbang pun menyambut kadatangan setiap tamu. Kedua patung singa ini biasa diletakkan di muka bangunan pemerintahan dan wihara/klenteng. Singa yang terletak di sebelah kanan biasanya lengkap dengan ornamen bola di kaki kanannya. Simbol laki-laki atau kekuatan maskulin. Sementara singa di sebelah kiri dengan anak singa di kaki kirinya merupakan simbol kekuatan feminin. Keduanya merupakan penjaga bangunan penting dan simbol harmoni Yin dan Yang. Teras bangunan indis ini memiliki pintu dengan ornamen pada papan jati berupa ukiran ular naga dan burung phoenix. Satwa bersayap itu merupakan mahkluk supranatural dalam kepercayaan tradisional Cina yang merupakan simbol kekuatan Yin, pelengkap Yang yang dimiliki oleh Naga. Keduanya merupkan simbol harmoni.

Baca Juga: Riwayat Perayaan Kue Bulan: Dari Dewi Chang'e Sampai Gus Dur

Ruangan dalam Wihara Dharmakaya yang memadukan beragam budaya: tradisi Cina dan arsitektur indis. Tampak hiasan pintu bergaya neoklasik dengan balutan art-deco khas awal abad ke-20 yang menghubungkan dua ruangan. (Agni Malagina)

 

Pada sisi lain terdapat gambar kelelawar sebagai simbol kemakmuran. Keindahan bangunan ini pun disempurnakan oleh lengkung-lengkung bingkai pintu dan jendela khas bangunan Indis. Tak ketinggalan lantai keramik djadoel bercorak dekoratif kuning kunyit dan coklat yang menambah kesan antik bangunan tersebut. Memasuki ruang utama, pengunjung akan di sambut oleh Dewa Kuan Ong, sang dewa rejeki. Tak jauh darinya terdapat tangga naik ke pagoda. Tidak seperti pagoda lain yang beranak tangga 21 yang melambangkan kebaikan, jumlah anak tangga wihara ini hanya 19. Sesampainya di atas, kita akan menemui Dewa Langit, San Tian Ong. Dari ruangan kecil di ujung menara itu kita dapat menikmati pemandangan Gunung Salak. Kembali ke ruang utama yang memajang altar Dewi Kwan Im yang berukir flora dan fauna; juga foto dari biksuni yang pernah mengabdi di wihara Kuan Im tersebut. Kesan privat lebih terasa di vihara ini. Konon menurut cerita penjaga vihara tersebut, tempat itu lebih sering digunakan oleh keluarga para biksuni untuk beribadah. Namun pada saat sembahyang Imlek, Cap Gomeh dan ulang tahun Dewi Kwan Im, wihara ini akan ramai dikunjungi umat. Di halaman samping dan belakang terdapat bangunan tambahan untuk klinik pengobatan yang dijembatani oleh taman kecil nan asri, ibarat berada di sebuah vila peristirahatan yang tenang. Demikianlah kisah Vihara Dharmakaya yang dibangun dan berhiaskan simbol-simbol dalam tradisi Negeri Tirai Bambu yang telah mengakar di bumi Nusantara.