Nationalgeographic.co.id—Anda yang tinggal di kota-kota besar, kemungkinan tidak asing dengan Kopitiam—beraneka merk. Gerainya bahkan tersebar di pusat perbelanjaan bergengsi. Kopitiam tumbuh besar seiring dengan tren kopitiam di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Namun di balik kopitiam yang terkenal itu, ada banyak kopitiam tradisional yang tersebar di beberapa tempat kantong-kantong masyarakat etnis Cina di Indonesia. Kopitiam merupakan paduan kata Bahasa Melayu dan Bahasa Cina dialek Amoy atau dialek Hokkian, “kopi” dan “tiam”. "Tiam" adalah lafal dialek Hokkian yang berarti "toko", yang dalam Bahasa Mandarin adalah 店 (pinyin: dian). Di daerah Asia Tenggara, kita dapat menemukan kopitiam di Singapura, Malaysia dan Indonesia—berbagai tempat imigran dari Tiongkok daerah Fujian (Xiamen). Menjamurnya waralaba kopitiam beberapa tahun belakangan ini di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak awal abad ke-20, banyak kopitiam di Hindia Belanda—termasuk di daerah Pontianak dan Singkawang—menggunakan nama warung kopi atau kedai kopi. Variasi penyebutan kopitiam, warung kopi dan kedai kopi menurut Johanes Herlijanto, pemerhati masyarakat Tionghoa yang juga sinolog, bahwa kopitiam merupakan warisan budaya orang Cina di Asia Tenggara. Menurutnya, “Jika kedai itu dimiliki orang Tionghoa, warga Tionghoa sekitar langsung menyebutnya sebagai kopitiam. Sebaliknya, jika dikelola orang non-Tionghoa, penyebutannya berganti menjadi kedai kopi”.
Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Kreatif dan Produktif Saat Bekerja di Kedai Kopi?
Mengherankan memang, mengingat bahwa mayoritas penduduk Singakawang adalah etnis Cina dan mereka hanya menggunakan ‘warung kopi’ sebagai penyebutan tokonya. Kebanyakan warung kopi di Singkawang memakai nama orang atau pemiliknya, misalnya Warung Kopi Acoy, Warung Kopi Apui, dan lainnya. Salah satu kopitiam tertua di Singkawang adalah Warung Kopi Nikmat yang terletak di Jalan Diponegoro. Ia sudah berdiri sejak tahun 1930-an, sekarang sudah dipegang oleh generasi ke empat. Menurut Abui (39) pengunjung warung tersebut yang juga pengusaha warung kopi, kata warung kopi lebih menyesuaikan pada konsumen. “Sedari dulu, pelanggan terbanyak warung kopi adalah orang Melayu, mereka suka sarapan, istirahat makan siang atau ngopi sore hari di warung kopi. Jadi mungkin supaya lebih ramah di telinga warga Singkawang digunakanlah kata warung kopi,” ujarnya sambil menyeruput kopi pancung.“Kopi pancung” adalah penyebutan pada minuman kopi yang disajikan dalam cangkir dengan ketinggian hanya setengah dari tinggi cangkir. Kata "pancung" berasal dari 半 "pan" yang berarti setengah dan 中 "cung" yang berarti tengah.
Baca Juga: Kopi atau Teh Hijau? Preferensi Makanan Kita Ternyata Dipengaruhi Faktor Genetika
Warung kopi pun kemudian menjadi tempat utama, selain klenteng dan perkumpulan marga. Banyak warga di Singkawang dan Pontianak datang ke warung kopi untuk tujuan tertentu, misalnya berdiskusi, mengadakan pembicaraan bisnis dan pembicaraan yang bersifat transaksional. Bahkan, jelang pemilu 2014, warung kopi merupakan tempat yang ideal bagi warga untuk menentukan siapa pemimpin yang hendak mereka pilih, bahkan para caleg pun memanfaatkan tempat ini sebagai sarana sosialisasi.Warung kopi tak hanya sebagai tempat penggila dan penikmat kopi bercengkrama dengan rasa, tetapi juga sebagai tempat untuk mendapat pelbagai informasi dan transaksi. Sejarah kopitiam di Asia Tenggara memang merupakan sejarah perkembangan warung kopi transnasional, tak kalah dengan gerai warung kopi yang datang dari negeri Paman Sam atau pun dari daratan Eropa. Seperti yang dipaparkan Johanes Herlijanto, kopitiam merupakan bentuk adaptasi orang Tionghoa terhadap lingkungan sekitar di mana pun mereka menetap. Tak dapat dipungkiri, kopitiam, warung kopi, atau kedai kopi juga merupakan salah satu sumbangsih orang Tionghoa terhadap khasanah kuliner di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Sementara warung-warung kopi tradisional saat ini harus bertahan menghadapi warung kopi waralaba, mereka pun harus menemukan inovasi untuk tetap dapat beroperasi.