Jalur Rempah, Rute Dagang yang Menyimpan Solusi Masalah Masa Kini

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 5 April 2021 | 15:51 WIB
Rempah-rempah. (Lutfi Fauziah)

 

Nationalgeographic.co.id—Jalur rempah bisa dibilang merupakan jembatan perdagangan tanaman-tanaman eksotis ke masyarakat dunia. Di masa lalu saja, bumbu menjadi benda mewah bagi masyarakat Timur Tengah yang keberadaannya bisa dilacak pada mumi firaun di Mesir.

Spesialis Program Budaya UNESCO, Moe Chiba mengungkap, bahwa jalur rempah juga bisa disebut sebagai jalur sutera maritim memiliki dampak pemahaman budaya dan politik. 

"Di jalur rempah ada beragam umat manusiaut—amanya orang Austronesia—yang secara lintas waktu dalam situasi geografis berkembang melintasi lautan untuk bertukar budaya dari Samudera Pasifik dan Hindia," terangnya di webinar Youth International Forum on Spice Route - Public Talks 2 yang diadakan Negeri Rempah Foundation, Senin (05/04/2021).

"Kalian pasti pernah dengar bila Borobudur dan Angkor Wat punya hubungan kesamaan dalam gaya aristektur. Itu berkat dari jalur ini. Jadi jalur ini bukan hanya soal rempah dan periode datang dan pergi ke kawasan itu."

Baca Juga: Terhenti sejak Konflik 1999, Maluku Akhirnya Kembali Ekspor Pala

Walau interaksi budaya dan politik ada di masa lalu, jalur ini bisa dimanfaatkan di dunia modern seperti hari ini untuk menyelesaikan masalah-masalah mancanegara.

Ia memberi gambaran kasus seperti masalah Laut Tiongkok Selatan yang dirundung konflik antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara akibat sengketa perbatasan laut. Penyelesaian sengketa itu bisa dimulai dari penjagaan warisan sejarah yang tenggelam di sana yang juga bagian dari jalur rempah.

Lewat studi yang melibatkan negara-negara sekitar, dipercaya dapat membuka diskusi kerjasama untuk memabahas sengketa itu lewat bukti-bukti yang ada.

"Penjagaan ini tentunya butuh biaya untuk membayar untuk mencegah dampak [buruk], dan kerusakan peninggalan," Chiba berpendapat. "UNESCO bisa berperan di situ. Bukan sebagai eksploitasi yang banyak dipertanyakan sebagai trafficking heritage untuk komersial. Tetapi untuk para ilmuwan bisa mengkajinya."

Baca Juga: Kopitiam, Riwayat Penyebutan Kedai Kopi Pusaka Peranakan Cina

 

 

Jika negara-negara sekitar mau melakukannya, menurutnya itu adalah langkah yang baik untuk langkah yang lebih jauh di depan untuk pengembangan pengetahuan dan sengketa.

Melansir dari Antara, sengketa Laut Tiongkok Selatan disebabkan batas laut yang masih rancu antara negara-negara sekitar seperti, Vietnam, Malaysia, Brunei, Filipina, dan Tiongkok.

Untuk menyelesaikannya, PBB mengengahinya dengan hukum internasional lewat UNCLOS. Tetapi hukum ini tak dipatuhi oleh Tiongkok dengan klaim sepihak.

Menurut pakar hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, hal itu disebabkan penetapan Nine Dash Line yang dilakukan Tiongkok yang dianggap sebagai tempat penangkapan ikan oleh nelayan tradisional mereka sejak dahulu.

Masalah temporer yang bisa ditangkap dari mempelajari jalur rempah, menurut Fefi Eka Wardiani Climate Reality Indonesia, adalah perubahan iklim. Ia berpendapat, bahwa rempah adalah tanaman epidemik yang hanya bisa tumbuh di tempat asalnya.

"Perubahan iklim akan berdampak pada tanaman epidemik seperti rempah. Itu akan membuatnya susah tumbuh dan jadi punah," katanya di forum tingkat mancanegara itu.

"Dampak ini setidaknya juga jadi kesadaran buat pengusaha rempah untuk mengetahui penyebab dan harus bertindak apa. Kalau rempah susah tumbuh bahkan punah, mau apa yang dijual?"

Baca Juga: Klenteng Ancol: Kisah Damai Konghucu, Buddha, Tao, dan Muslim

 

Ancaman lainnya bagi petani dan pengusaha rempah masa kini adalah mulai bermunculnya spesies tanaman invasif. Ia menilai, keberedaannya yang sangat berbahaya bagi ekonomi, lingkungan, dan kesehatan manusia itu sendiri.

Ia menyarankan agar pengusaha rempah untuk menerapkan Balance Ecosystem yang dipelajarinya di Taiwan. Sebuah ekosistem mini yang layak untuk hewan, tumbuhan, hingga mikroorganisme yang saling membutuhkan untuk menjadi siklus dan membentuk energi terbarukan.

Menurutnya, proses itu bisa diterapkan di negara-negara yang memproduksi rempah seperti Indonesia. Sehingga keutuhan jalur rempah di masa modern bisa terjaga.