Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus

By National Geographic Indonesia, Selasa, 6 April 2021 | 10:00 WIB
Lampu kilat menerangi Stupa Mahligai dan Candi Tua di ambang malam. Percandian Muaratakus di Riau ini diyakini memiliki peran penting pada suatu babak perjalanan Sriwijaya. (Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia)

Biksu I-Tsing, dalam catatannya yang dibuat menjelang akhir abad ketujuh, menyebut kapur barus sebagai salah satu produk andalan Shih-li-fo-shih—sebutannya untuk Sriwijaya. Kapur barus, atau kamper, menurut para ahli sejarah bahkan memang sudah dikenal oleh bangsa-bangsa Timur Tengah jauh sebelum berdirinya Sriwijaya. Mungkin sejak awal-awal Masehi atau bahkan jauh sebelumnya.

Pada abad keenam, seorang dokter Yunani yang berdiam di Mesopotamia menyebut tentang kamper dalam salah satu catatannya. Kemudian, pada paruh pertama abad ketujuh ketika pasukan Arab merebut Istana Chosroes II di tepi Sungai Tigris, juga ditemukan tempayan-tempayan yang penuh berisi kamper. Benda asing itu semula disangka garam.

Di negeri asal Biksu I-Tsing yakni Cina, pada paruh pertama abad keenam juga disebutkan mengenai kamper. Lebih menarik lagi, karena penyebutannya adalah “kamper Po-lu”. Po-lu merupakan salah satu nama tempat yang kerap diasosiasikan dengan Barus di Sumatra.

Selain “Po-lu” (yang juga pernah disamakan dengan Perlak), beberapa nama lain yang pernah dilekatkan kepada Barus pada masa Sriwijaya antara lain Lang-po-lu-si (dalam Hsin-Tang-shu atau sejarah baru Dinasti Tang), Pin-su, dan Fansur. Nama yang terakhir ini merupakan penyebutan versi bangsa Arab. 

Baca Juga: Selisih Shih-Li-Fo-Shih: Teka-teki Sriwijaya yang Tak Berkesudahan

Kristal putih yang muncul dari pohon kapur disebut resin kapur. Resin ini kerap disebut kamper atau kapur barus. (Aswandi/Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Kementerian Ling)