Konsep Ekonomi Biru: Solusi Ramah Lingkungan di Laut dan Laju Industri

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 7 April 2021 | 08:00 WIB
Kumpulan karang lunak (soft-coral) dan karang keras (hard coral) yang terdapat pada titik penyelaman di pulau Pangabatang sebelah utara. Titik penyelaman ini merupakan satu dari total 32 titik penyelaman di Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gugus Pulau-Teluk Maumere, yang sudah dipetakan oleh Maumere Di (Maumere Diving Community (MDC).)

Nationalgeographic.co.id—Mulai dari sampah plastik hingga serpihan jala ikan yang melayang-layang di lautan, menjadi ancaman rusaknya lingkungan perairan dunia. Limbah seperti itu diperkirakan berhubungan dengan aktivitas manusia seperti pariwisata hingga industri yang mencemar lingkungan.

Untuk itu, Thomas Bell dari Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) menyebut perlunya pemahaman dan manajemen kesadaran lingkungan yang berkelanjutan di beberapa negara yang memiliki kawasan laut lewat ekonomi biru (blue economy).

Sehingga, lingkungan laut tetap terjaga sambil beriringan dengan perkembangan ekonomi. Terlebih, bagi negara-negara yang memiliki kawasan perairan, laut adalah sumber pemasukan utama baginya.

Baca Juga: Di Antara Perairan Surgawi Papua, Leluhur Nusantara Membuat Coretan Unik Tentang Perjalanan Manusia

 

"Tentunya ini (ekonomi biru), karena konsepnya relaitf baru dan masih dalam pengembangan, jadi tentunya banyak pandangan terkait ini," ujarnya dalam Youth International Forum on Spice Route yang digelar Negeri Rempah.

Setidaknya, ia menyebutkan ada beberapa kunci yang dapat difokuskan untuk penerapan ekonomi biru ini, yakni ekoturisme, perikanan, pencegahan zat-zat berbahaya, penanggulangan risiko bencana, hingga manajemen penggunaan lahan.

Tetapi yang jadi faktor penting dalam mengatur lautan dan pesisir demi pembangunan ekonomi demi menjaga lingkungan, perlu diperhatikan pada penggunaan energi, ketersediaan air bersih, dan manajemen penggunaan lahan.

 

"Itulah yang akan membangun pertumbuhan ekonomi, tak hanya dapat menopang [lingkungan] tapi juga adil, dan berintegrasi pada pendekatan antara industri, pemerintah, dan juga tak ada fokus tunggal karena itu juga gambaran dan inovasi yang diberikan secara sains," jelasnya.

Selain tawaran sistem untuk pemerintah, Bell juga menjelaskan betapa pentingnya kesadaran menjaga ekosistem sekitar pada masyarakat maupun perusahaan.

"Kita tahu kalau air itu datang dari hujan turun di gunung, mengisi sungai, dan banyak manfaat. Tapi kita juga harus sadar juga seperti berapa lama ekosistem itu dapat menopang hingga akhrinya rusak," ungkapnya.

Baca Juga: Dampak Bencana dan Perubahan Iklim terhadap Kaum Perempuan Sejagad

 

 

Manusia memiliki kedekatan dan bergantung pada lingkungan sekitarnya. Kondisi alam yang rusak menyebabkan kerugian besar yang tak terkira, dan patut diperhitungkan oleh manusia sebagai yang bertanggung jawab atas kerusakan itu.

Robert Costanza dari Australian National University dalam jurnal Global Environmental Change, memperkirakan kerugian kerusakan lingkungan pada 2011 diperkirakan sebesar 125 triliun dolar per tahun. Kerusakan itu umumnya disebabkan regulasi yang buruk dalam pengelolaan lingkungan, dan aktivitas korporasi berskala regional hingga global.

Sampah medis banyak ditemukan di laut saat dunia sedang bergulat melawan COVID-19. (Operation Mer Propre)

Menanggapi temuan itu, Bell berujar, "Kalau begitu kan kita harus mengurangi dampak dari pemanasan global dengan membuat energi yang ramah di udara, lautan, perairan, dan menstabilkan garis pantai."

Dalam konteks kelautan, ia menilai bahwa negara-negara yang memiliki kawasan laut seperti Indonesia harus memperhatikan hal ini. Terlebih, Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya juga memanfaatkan jalur dagang laut yang telah terbentuk sejak berabad-abad lamanya yang disebut jalur rempah.

"Ini juga selaras dengan pandangan ekonomi hijau yang hendak memngembangkan SDM, membangun perekonomian sosial, dan mengurangi dampak risiko lingkungan yang sekaligus mengurangi kemiskinan," jelasnya.

Hingga saat ini, Indonesia sedang berupaya untuk dapat menjaga ekosistem lautannya sambil mengembangkan ekonominya.

Baca Juga: Alex Waisimon: Mencintai Alam Sama Dengan Membenci Para Perusaknya

Ketua Maritim Muda Indonesia, Kaisar Akhir memaparkan dalam forum yang sama, bahwa pihaknya sedang menggandeng beberapa pihak dari kementerian, akademisi, peneliti, dan pebisnis, demi menciptakan ekonomi biru.

"Kita bisa lihat dari industri [4.0] ini, kita memanfaatkan indikator dengan intielegent production incorporated lewat IT, teknologi, dan big data. Dan Indonesia sendiri memiliki visi untuk menjadi Top 10 Global Economy," katanya.

"Di bidang otomotif, kita sedang menggandeng beberapa pihak untuk membuat teknologi dari energi terbarukan seperti perahu dan kapal yang memakai energi matahari. Atau di bidang kimia, kita sudah mulai untuk mencoba membudidayakan alga untuk dijadikan biogas, dan memproduksi bio-plastik."

Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon