Simbol-simbol Relief Gereja Puh Sarang dalam Bingkai Hindu-Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 7 April 2021 | 07:00 WIB
Suatu relief batu bata dalam Gereja Puh Sarang yang menggambarkan adegan tatkala Abraham bersiap mengorbankan Ishak. Kehadiran malaikat yang tiba-tiba mengurungkan niatnya. Relief ala candi Hindu di gereja ini menampilkan kisah-kisah dari Alkitab. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Perpaduan budaya mewarnai interior gereja dengan hiasan relief di batu bata bak candi-candi di zaman Majapahit. Ruangan dalam dengan hamparan lantai terakota menambah takzimnya suasana gereja. Inilah klimaks karya sang arsitek.

Sederet relief batu bata yang terbentang yang menarik untuk dicermati detilnya. Salah satu bagian relief tengah melukiskan empat pengarang Injil dalam simbol ikonik: singa bersayap (Markus), manusia (Mathius), lembu (Lukas), burung garuda (Yohanes).

Relief sisi kiri altar terdapat patung Yesus yang dinaungi simbol-simbol penghormatan kepadanya. Sedangkan relief sisi kanan altar menggambarkan penghormatan kepada Bunda Maria. Relief simbol-simbol ikonik Jawa menaungi sosok Bunda Maria yang diwujudkan dalam patung seorang ibu menggendong anaknya.

“Ini lambang bintang maksudnya sebutan Bunda Maria, Lintang Panjer Injing—bintang timur atau Venus,” kata Kamilah. ”Juga relief gapura ini simbol dari Gapuraning Suarga—gapura surga.” Sosok Maria diibaratkan sebagai pintu purga bagi umat manusia karena melalui perantaraan putranya, Yesus, manusia dibimbing masuk ke dalam surga.

Seperti kisah dalam film Da Vinci Code, tim National Geographic Indonesia menyimak serius kala Kamilah mengartikan makna dibalik lambang-lambang ikonis yang terpahat di bata merah. Sungguh banyak simbol-simbol dalam relief batu bata itu yang harus dipecahkan untuk mengetahui makna sejatinya.

Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit

Lantai terakota di dalam gereja, menambah kesyahduan bagi para peziarah. Tidak seperti gereja pada umumnya, peziarah Puh Sarang melakukan misa sambil duduk bersila atau bersimpuh. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Semangat Maclaine Pont dan Jan Wolters untuk melestarikan budaya Jawa tidak hanya diterjemahkan dari sisi arsitektural saja, namun perilaku masyarakat menjadi dukungan yang lestari. Puh Sarang memang unik. Misa-misa di Puh Sarang dihadiri umat dengan duduk bersila khas orang Jawa. Bahasa pengantarnya pun Bahasa Jawa. Kekhidmatan umat dalam menjalani ibadah juga tersirat dalam melafalkan ayat-ayat Alkitab dengan macapat (tembang Jawa) bersama iringan gamelan.

“Itu setiap Misa Jumat Legi,” ujar Kamilah. “Ketika perayaan hari-hari besar, seperti Misa Natal dan Paskah, umat menghadirinya dengan busana Jawa lengkap.”

Kiranya Gereja Puh Sarang memberikan warna khas dalam wisata religi, tidak hanya bagi umat Khatolik tetapi juga bagi semua orang yang tertarik tentang budaya dan sejarah arsitektur.

Menyaksikan keanggunan Gereja Puh Sarang, ibarat melihat eksotisme Jawa dari kacamata seorang Maclaine Pont.

Baca Juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia