Padanlah, apabila kita menyebut Gereja Puh Sarang sebagai mahakarya karena arsitektur gereja ini merupakan perpaduan dua hati: Jan Wolters dan Maclaine Pont.
Wolters merupakan seorang yang mencintai dan menghormati tata nilai budaya orang Jawa. Sementara Maclaine Pont merupakan seorang yang tertarik dengan percandian di Jawa, sekaligus resah tentang derasnya kemajuan yang mengikis budaya Jawa kala itu.
Hakikatnya, sebuah perpaduan yang menghasilkan budaya melalui penyerapan nilai-nilai budaya lokal Hindu-Jawa dan Alkitab yang dirupakan dalam arsitektur Gereja Puh Sarang. Sebuah gereja yang sarat makna itu diresmikan pada 11 Juni 1936 oleh Prefektur Apostolik Surabaya Mgr. Theophile De Backere, CM, dua tahun sebelum beliau pulang ke Belanda.
Baca Juga: Riwayat Reog dalam Kancah Politik Majapahit hingga Indonesia
Tidak seperti gedung-gedung zaman kolonial yang dibangun megah berhiaskan porselen asal Delft atau kaca patri dari Harleem Belanda, Gereja Puh Sarang dibangun dengan bahan bangunan dan kearifan lokal penduduknya. Banyak material dari Kali Kedak, sebuah sungai yang membelah Puh Sarang, digunakan untuk membangun gereja dan pagar kelilingnya.Tampak depan, bangunan gereja ini mirip dengan gunung dan kapal, buah inspirasi dari kisah bahtera Nuh yang terdampar di Gunung Arafat. Bersama Kamilah, seorang Koster berusia 75 tahun, titian langkah saya terhenti di tangga pintu utama menuju Gapura Henricus.
Gapuranya mengadaptasi bentuk candi dengan lonceng bermahkota ayam, perlambang panggilan umat untuk bertobat dari praktek kehidupan yang menyangkal keberadaan Tuhan. Di sisi utara terdapat kerkhof (permakaman) dengan pintu gapura bernama Gerbang St. Yosef.
Halaman dalamnya dikelilingi pagar dengan tekstur batu kali yang bertonjolan. Di bagian ini terdapat bangunan utama gereja yang diapit dua ruangan kecil. Ruangan sisi timur menampilkan patung Pieta di atas tabernakel ala Yahudi, sedangkan sisi barat menampilkan miniatur Goa Maria Lourdes. Maclaine Pont juga menempatkan tablet terakota di sekeliling dinding halaman dalam yang mengisahkan jalan salib Golgota.
Baca Juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC