Nationalgeographic.co.id— Banyak cerita memikat tentang kehidupan dalam tembok kota Batavia. Salah satunya, kehidupan para perempuan indis di kota yang didirikan oleh Jan Pieterzoon Coen pada awal abad ke-17 tersebut.
Nicolas de Graaff pertama kali menyaksikan Kota Batavia pada akhir 1640. Setidaknya dia telah melakukan perjalanan dari Belanda ke Hindia Timur sebanyak lima kali. Dia merupakan ahli bedah di kapal VOC, seniman lukis, dan penulis kisah perjalanan. Tidak seperti pelancong lain yang mengisahkan keindahan dan kesyahduan Batavia dengan kanal-kanalnya, Graaff justru mengisahkan tentang perilaku perempuan di Batavia yang kadang terkesan memalukan.
Tampaknya Graaff adalah fenomena. Catatan tentang pengamatannya yang mendalam seputar kehidupan perempuan di Hindia Timur baru diterbitkan pada 1701—setelah dia wafat—dalam Oost-Indise Spiegel.
Baca Juga : Kastel Good Hope, Mahakarya VOC di Benua Hitam
Sudah menjadi tren saat itu di Batavia bahwa nyonya-nyonya elite punya kebiasaan unik saat beribadah di Kruiskerk—Gereja Salib yang bekas lahannya kini menjadi Museum Wayang. Mereka, para nyonya Belanda, maupun mestizo atau peranakan, menjadikan gereja sebagai ajang pamer status sosial.
Pada abad itu, sangat sedikit perempuan Eropa yang hijrah ke Batavia. Para nyonya itu mengikuti kewarganegaraan suaminya yang asal Belanda. Jadi dalam tembok kota bayak ditemui perempuan asli Belanda, Indis, Kreol, dan Asia.
Mereka bukanlah para istri yang menerima apa adanya penghasilan suami, demikian menurut Graaff, melainkan para istri yang terlibat langsung dalam perdagangan atau perantara jual beli rumah atau pemberi pinjaman uang.
Graaf mengisahkan perilaku para nyonya di Batavia yang memamerkan perhiasan mewah tatkala mereka pergi dan pulang dari gereja. Segala hal telah mereka siapkan lebih glamor ketimbang waktu lain, demikian menurut Graaff.
Selain berbusana dan bertakhtakan perhiasan mewah, Graaff juga mencatat bahwa nyonya-nyonya Batavia datang ke gereja yang diiringi budak lelaki dan perempuan mereka. Para budak membawa parasol berbodir dengan motif daun-daun yang memayungi majikan mereka selama perjalanan.
Graaf melukiskan dalam catatannya bahwa nyonya-nyonya itu ibarat putri raja yang manja dan selalu ingin dilayani dan dipenuhi segala kebutuhannya. “Bahkan sedotan yang jatuh di lantai, mereka memanggil para budak untuk mengambilnya,” demikian tulisnya. Malangnya, para budak kerap didera sumpah serapah atau hukuman cambuk apabila mereka bekerja lamban atau tak memenuhi pinta sang nyonya majikan.
Demikianlah, sepotong kehidupan sosial di sebuah kota yang kelak melahirkan Megapolitan Jakarta dengan segala keruwetan dan gengsi budayanya. Jikalau nyonya sosialita zaman VOC tampak eksis bersosialisasi di gereja, kini nyonya sosialita modern abad ke-21 tampak eksis bergaul di mal dan pusat berbelanjaan mewah.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR