“Tempat berdiri kita sekarang ini dulunya adalah laut,” ungkap Firdaus di kantornya, Tanjung Barat. “Sekitar 4.000 tahun lalu pinggir laut kita ada di Ciputat.” Akibat erosi dan sedimentasi, terbentuklah delta yang kini bernama Jakarta. Lantaran delta, usia tanahnya pun muda, sehingga mengalami pemadatan yang ditandai dengan permukaan tanah yang turun. Kini, laju penurunannya kian gawat karena pemompaan air tanah dalam yang berlebihan dan tak terkendali yang dilakukan oleh industri dan gedung-gedung perkantoran besar.
“Jika kita tak segera melakukan sesuatu,” ujarnya mengingatkan, “maka pantai Jakarta akan berada di Semanggi pada 2050. Dan, pada 2060 pantai berada di sekitar terminal Blok M!” Namun, jika pemerintah daerah menghentikan pemompaan air tanah dalam, penurunannya dapat dikurangi. “Kalau muka tanah turun, dan kita kendalikan,” ungkapnya dengan yakin, “pada 2050 pinggir pantai berada di Harmoni.”
Fakta membanjirnya air laut ke daratan sudah terjadi kawasan kampung pesisir Jakarta, seperti Penjaringan, Muara Baru, Cilincing. Bahkan, warga Kamal Muara kini sudah terbiasa dengan banjir rob setiap hari—pagi dan sore. Sementara, bertambahnya genangan saat musim banjir dan amblasnya ruas jalan di Jakarta Utara beberapa tahun lalu merupakan indikasi penurunan muka tanah, demikian hemat Firdaus.
Apakah berarti Ibu Kota Jakarta harus dipindahkan? “Kita tidak mau meninggalkan sejarah buruk kepada anak cucu kita,” kata Firdaus. “Memindahkan ibu kota tanpa membenahinya terlebih dahulu adalah pecundang. Itu kejahatan yang luar biasa!”
Menurutnya, solusi terakhirnya adalah pembangunan tanggul raksasa di Teluk Jakarta. Wacana tanggul yang mencakup kawasan reklamasi pantai seluas 5.100 hektare ini tengah dikaji oleh pemerintah daerah. Paling cepat, tanggul raksasa itu terwujud pada 2025. “Kita pun bisa memperluas atau menambah daratan,” ujarnya. “Kalau kita punya tanggul ini, persetan dengan skenario tadi.”
“Kita hidup dalam risiko bencana ekologi perkotaan,” kata Firdaus. Dalam hal kebijakan lingkungan, utamanya, kelemahan negeri ini terbesar pada sistem dan mekanisme kualifikasi. Menurutnya, ada tiga kunci untuk memperbaikinya: kepemimpinan yang kuat, kemampuan dan kerelaan berkoordinasi, dan penegakan hukum yang tidak pandang waktu dan bulu. “Kita beruntung sampai detik ini Jakarta aman,” pungkasnya. “Tuhan masih sayang dengan kita.
—Artikel ini pernah terbit di National Geographic Indonesia edisi September 2013 dengan judul Petaka dari Bumi dan Laut Jakarta.