Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit

By Agni Malagina, Jumat, 9 April 2021 | 14:07 WIB
Pabrik Mi Ketandan. Setiap hari aktivitas bermula pada pukul dua dini hari dan selesai pada dua belas siang. Selama satu hari, produksinya bisa mencapai tujuh kuintal mi tanpa penambahan bahan pengawet. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

 

Teknik pembuatan mi ternyata cukup berkembang di zaman dinasti Han. Ada teknik cetak disebut botuo. Caranya, adonan tepung dicampur daging, dicetak panjang-panjang sebesar ukuran ibu jari. Cara lain, shuiyin. Tekniknya sama seperti mi tarik yang kita kenal sekarang ini.Pada masa dinasti Tang muncul changshou mian yang merupakan simbol panjang umur. Chang (长) berarti ‘panjang’, shou ( 寿) ‘umur panjang’ dan mian (面) adalah mi. Mi ini dimakan saat hari ulang tahun, disebut juga shengri tangbing (生日汤饼) ‘mi kuah ulang tahun’. Makna yang dikandung mi ulang tahun ini agar supaya orang yang berulang tahun mendapat berkah panjang umur.Teknik pembuatan mi terus berkembang. Makanan itu tidak hanya menjadi makanan di kalangan bangsawan, tetapi juga menyebar luas ke kalangan rakyat jelata. Pada masa Dinasti Song (960-1279 M) mi kuah menjadi makanan kesukaan rakyat, lalu mulailah muncul kedai-kedai dan rumah makan yang menjual mi kuah atau sup mi sebagai menu utamanya.

Baca Juga: Belajar Sekaligus Mencicipi Makanan Peranakan di Bulan Ramadan

Proses pembuatan Mi Lethek cap Garuda di Bantul, Yogyakarta. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Traveler)

Mi dan PenyebarannyaSeiring dengan diaspora etnis Tiongkok ke seluruh dunia, mi pun berkembang ke pelbagai wilayah dunia. Dengan demikian berkembang pula jenisnya, misalnya ada yang disebut guotiao, kita mengenalnya dengan nama kweetiao. Ada pula shahefen atau hefen yang merupakan sejenis spaghetti tipis, dan mixian jenis spaghetti lainnya, juga gongmian yang dikenal sebagai misoa.

Di Indonesia, penggunaan mi sebagai bahan makanan diduga sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Menurut Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa Silang Budaya, istilah mi pada masa Majapahit terekam dalam Piagam Biluluk berangka tahun 1391. Kata yang muncul adalah hanglaksa atau pembuat laksa. Kata laksa berasal dari Persia dan Hindi ‘lakhshah’, sejenis mi tipis. Istilah tersebut sudah ada di Nusantara sejak abad ke-14, berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna ‘seratus ribu’, kemungkinan karena jumlah mi tipis yang sangat banyak dalam satu porsi mangkuk hidangan laksa.Menikmati sajian semangkuk mi bersama sejarahnya, tentu akan menambah gelora selera tatkala kita menyantapnya. Selamat bersantap dengan mi!