Sepiring Mi Aceh: Teladan Cerita Kota Rempah dalam Kesejatian Rasa

By National Geographic Indonesia, Jumat, 9 April 2021 | 19:00 WIB
Mi aceh dan bumbu rempahnya yang kaya melambangkan keanekaragaman budaya warganya. Ade cerita di setiap helai mi Aceh (Yunaidi Joepoet)

Bang Adi, yang nama sejatinya Tarmizi, menatap saya dari ujung etalase di dapurnya, memperlihatkan senyum dan kumisnya yang tertata rapi.

Saya mengacungkan dua jempol.

Mi aceh memang kaya dengan rasa. Tak heran bila banyak pejalan yang datang ke Aceh mewajibkan diri menyicip kuliner yang satu ini. Kemashurannya bahkan sampai ke manca negera ketika sekelompok anak muda asal Perancis, Fransoa Superstar menyebut-nyebut mi aceh dalam lirik lagunya.

“Saya racik bumbu sendiri.  Ayah mengajarkan saya meracik bumbu hampir dua puluhlima tahun yang lalu.  Sampai kini, tak ada yang berubah.Saya tetap mempertahankan rasa. Bila tidak, mungkin pelanggan akan beralih ke tempat lain.  Itu rasanya seperti membuang barang berharga,” kata Bang Adi memulai obrolan kami.

Bumbu racikan sendiri baginya merupakan sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang berharga. Bumbu adalah pusaka yang sejatinya menjadi identitas yang tak tergantikan.

Baca Juga: Menyingkap Waktu Tsunami Aceh dari Catatan Alam di Gua Euk Leuntie

Litografi berjudul 'Achem' karya Jacques Nicolas Bellin (1703 - 1772). Royal Hydrographer, insinyur Angkatan Laut Prancis dan anggota Royal Society. Untuk: Antoine-François Prevost's (Map and Maps)

“Bumbu dari Aceh pasti dominan asam, pedas dan asin.Beda lagi dengan Minang, pasti dominan pedas.Nah, Jawa kan lebih ke rasa manis. Selera pelanggan beda-beda juga,” jelasnya. Mi aceh dan bumbu rempahnya yang kaya melambangkan keanekaragaman budaya masyarakatnya—Melayu, Arab, Cina, India. Pun, para pelanggannya berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang budaya.

“Kita menghargai perbedaan itu, namanya juga Indonesia,” tandasnya.

Rasa asli mi aceh mestinya dapat dipertahankan. Namun di banyak tempat, justru racikan bumbu sudah menjadi dominasi penjual bumbu di pasar-pasar. Saya kerap menikmati mi dengan cita rasa yang itu-itu saja. Tetapi, sepiring mi buatan Bang Adi menyadarkan saya akan kekayaan intelektual para peracik bumbu.

Sesungguhnya, jenis bumbu yang dia racik tak banyak yang berbeda. Di dalamnya sudah lumat bawang merah dan bawang putih, udang basah, jahe, cabe merah, garam dan rempah lainnya.Dugaan saya hanya takaran yang membuat cita rasa mi buatannya menjadi berbeda.

Dapur yang sengaja diletakkan di bagian depan warung itu seperti mengeluarkan suara ketukan perkusi. Saya menikmati suara logam atau botol kaca yang berbenturan, ditingkah suara tumisan yang terdengar seperti suara simbal. Tak ada nada maupun harmoni irama, tapi gaya memasak seperti ini tentunya didapat dari pengalaman yang panjang. Meriah.

Dia mengisahkan bagaimana warung mi miliknya berkembang dari sekadar pedagang kaki lima hingga menguasai empat petak rumah toko di kawasan simpang Lhong Raya, Banda Aceh ini.  Dia menggantikan ayahnya yang sudah tua, karena itulah warung itu dinamai "Mie Ayah".

Baca Juga: Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat