Tim arkeolog tersebut dengan bersemangat mengambil cakar itu dan membawanya untuk dianalisis. Hasilnya mencengangkan, cakar misterius itu ditemukan sebagai sisa mumi berusia 3.300 tahun dari moa dataran tinggi, seekor burung prasejarah besar yang telah punah berabad-abad sebelumnya.
Ancient Origins memaparkan, moa dataran tinggi (Megalapteryx didinus) merupakan jenis burung moa endemik Selandia Baru. Hasil analisis DNA yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences menunjukkan bahwa moa pertama muncul sekitar 18,5 juta tahun lalu dan setidaknya ada sepuluh spesies dari jenis mereka. Namun mereka telah lenyap “dalam kepunahan megafauna paling cepat akibat ulah manusia" yang terdokumentasikan saat ini.
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
Penemuan pertama moa terjadi pada tahun 1839 ketika John W. Harris, seorang pedagang rami dan penggemar sejarah alam, diberi tulang fosil yang tidak biasa oleh seorang anggota suku asli Māori. Anggota suku itu mengatakan bahwa dia menemukan tulang itu di tepi sungai.
Tulang itu kemudian dikirim ke Sir Richard Owen yang bekerja di Hunterian Museum di Royal College of Surgeons di London. Owen bingung dengan tulang itu. Selama empat tahun ia menganalisis tulang tersebut, tapi tidak cocok dengan tulang-tulang lain yang dia temukan.
Akhirnya, Owen sampai pada kesimpulan bahwa tulang itu milik burung raksasa yang sama sekali tidak pernah dikenali. Komunitas ilmiah mengolok-olok teori Owen, tetapi dia kemudian terbukti benar dengan penemuan banyak spesimen tulang yang memungkinkan rekonstruksi lengkap kerangka moa.
Sejak penemuan pertama tulang moa, ribuan tulang lainnya lagi telah ditemukan bersama dengan beberapa sisa mumi yang luar biasa, seperti cakar yang tampak menakutkan di Gunung Owen. Beberapa dari sampel ini masih menunjukkan jaringan lunak dengan otot, kulit, dan bahkan bulu.
Sebagian besar sisa-sisa fosil telah ditemukan di bukit pasir, rawa, dan gua, di mana burung-burung itu mungkin masuk ke sarang atau untuk menghindari cuaca buruk. Burung-burung itu kemudian mati di sana dan tubuh mereka terawetkan secara alami karena mati di tempat yang kering.
Baca Juga: Terungkap Misteri Mumi Uskup Abad ke-17 dan Janin Bayi di Sebelahnya