Ketika orang-orang Polinesia pertama kali bermigrasi ke Selandia Baru pada pertengahan abad ke-13, populasi moa berkembang pesat. Mereka adalah fauna herbivora dominan di hutan, semak, dan ekosistem subalpine Selandia Baru selama ribuan tahun, dan hanya memiliki satu predator, yakni elang Haast. Namun, ketika manusia pertama tiba di Selandia Baru, moa dengan cepat menjadi terancam punah karena perburuan berlebihan dan perusakan habitat.
“Karena mereka mencapai kematangan yang sangat lambat, [mereka] tidak akan mampu bereproduksi cukup cepat untuk mempertahankan populasinya, mereka jadi rentan terhadap kepunahan,” tulis Natural History Museum, London. "Semua moa punah pada saat orang-orang Eropa tiba di Selandia Baru pada tahun 1760-an."
Moa sering disebutkan sebagai kandidat satwa yang akan dihidupkan kembali melalui proses kloning karena banyak sisa-sisa tubuh hewan itu yang terawetkan dengan baik sehingga DNA mereka dapat diekstraksi. Selain itu, karena baru punah beberapa abad yang lalu, banyak tumbuhan yang menjadi makanan moa masih tumbuh hingga saat ini.
Ahli genetika Jepang Ankoh Yasuyuki Shirota telah melakukan pekerjaan pendahuluan untuk mencapai tujuan ini dengan mengekstraksi DNA dari sisa-sisa moa, yang rencananya akan ia masukkan ke dalam embrio ayam. Ketertarikan pada upaya menghidupkan kembali burung purba ini mendapatkan dukungan lebih lanjut di pertengahan tahun 2020 ketika Trevor Mallard, anggota parlemen di Selandia Baru, menyarankan bahwa upaya menghidupkan kembali moa dalam 50 tahun ke depan adalah ide yang bagus.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon