Apa yang Membentuk Kesejatian Cita Rasa Bersantap di Nusa Dewata?

By National Geographic Indonesia, Kamis, 15 April 2021 | 17:00 WIB
Semua anggota tubuh berperan dalam menciptakan tarian yang dinamis, termasuk aturan langkah dan sikap tubuh. (Valentino Luis)

Jadi, selama orang Bali masih ada, maka lawar, sate lilit, tum, betutu, dan babi guling pun akan tetap ada,” ujar Ni Nyoman dengan keyakinan penuh.

Di Warung Eny’s, Ni Nyoman menghilangkan merica dan cabai dalam adonannya. “Sebagian besar pengunjung warung ini adalah tamu asing, mereka tidak mampu makan yang pedas,” kilahnya. Sebagai alternatif, dia menyediakan sambal terpisah, bila ada yang meminta. “Pastinya, saya kasih Sambal Matah, sambal asli Bali.”

Jalan Petitenget menyimpan banyak kenangan bagi Ni Nyoman. Awal tahun 1990-an dia mulai membuka warung disini, kecil ukurannya, menjual makanan bagi para tukang bangunan lokal yang menggarap proyek hotel baru. Saat malam menjelang hanya suara Kodok dan Jangkrik beradu nada. Suaminya bekerja sebagai karyawan hotel. Setelah bertahun menabung, mereka memperbaiki warung dan membeli sepeda motor untuk membantu transportasi.

 

“Tahun 2003 suami saya berhenti bekerja, dan memutuskan sepenuhnya untuk bersama saya mengelola rumah makan ini. Kenalan kami, orang Jerman, memberi saran padanya, bahwa rumah makan ini bisa menghidupi keluarga kalau dikerjakan bersama. Benar, Sang Hyang Widhi Wasa membantu kami, hingga sekarang, bahkan anak saya Ni Luh itu sudah memberi tiga cucu.”

Tidak ada promosi yang dilakukan Ni Nyoman guna menggaet pengunjung. Ia hanya mengandalkan otetitas serta kualitas masakannya, sikap

Bali dan kedekatan masyarakatnya dengan air. (tawatchaiprakobkit/Getty Images/iStockphoto)
santun melayani tamu, dan  rekomendasi dari mulut ke mulut yang ditularkan pengunjungnya. Kebanyakan yang pernah ke Warung Eny’s datang kembali di kunjungan berikutnya. “Seperti keluarga dari Belanda tadi. Dulu hanya suami-istri, hari ini datang beserta anak dan menantu,” ujar Ni Nyoman.