Lantaran sangat memperhatikan soal layanan ke tamu, ia menampik godaan untuk membuka cabang rumah makannya. Ia yakin makanan bukan hanya sebagai penghapus rasa lapar. Orang butuh lebih dari itu: Penerimaan, suasana, dan citarasa. “Saya adalah perempuan Bali, tata sikap saya mewakili Bali. Makanan yang saya masak pun merupakan senyawa Bali yang lain. Warung ini tidak akan diubah wujudnya, Dik. Kursi yang kamu duduk adalah kursi yang sudah ada sejak awal warung ini berdiri. Kursi-kursi lain dibuat mengikuti kursi yang kamu duduki itu,” tawanya.
Oh, saya tidak menduga!
Ni Nyoman tak hanya memberi saya sate lilit, tapi mempersilahkan saya mencoba Betutu dan Tum bikinannya. Saya dan suaminya berbicara tentang bermacam restoran di sekitar Petitenget, termasuk bagaimana pengelolaan Warung Eny’s jika kelak mereka menua nanti.

“Memang, cepat sekali perubahan terjadi disini. Tidak masalah berada di antara restoran asing. Di warung kami, makanan Bali akan terus terasa makanan Bali. Begitupun keluarga kami, tetaplah Bali. Anak-anak kami akan menjaganya tetap sama.”
Saya kemudian beranjak ke Pantai Petitenget. Memandang lautan yang berubah merah bagai darah ketika Surya terbenam. Kehidupan pantai ini berdenyut, oleh wajah-wajah baru dari berbagai pelosok bumi.
Musik rancak bertalu dengan angin, menerbangkan bau makanan dari restoran makanan negeri seberang. Namun saya teringat sate lilit. Ni Nyoman Supadmi, wangi batang Serai yang menguar dari baluran daging hangat, ruangan remang dengan foto-foto tahun sembilan puluhan, tak ketinggalan sapa pemilik kedai yang ramah. Di pojok Jalan Petitenget No.9 itu, tempat ingatan akan masa nyanyian kodok sebelum berganti suara klakson kendaraan, tempat rasa Bali terhidang purna.