Bagaimana Peristiwa Masa Lalu Secara Tak Langsung Memicu Terorisme?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 14 April 2021 | 10:00 WIB
Candi Borobudur yang pasca pengeboman 21 Januari 1985. (Syharil Chili/Tempo)

Gagasan itu secara hukum bermula lewat UU No. 3 Tahun 1975 yang menyatakan semua organisasi dan partai harus berlandaskan Pancasila. Asas Tunggal pun berbuah pada kampanye Pedoman Penghayatan dan pengalaman Pancasila (P4).

Lebih lanjut, David Bourchier dalam buku Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2014)kampanye itu tidak lain menekan masyarakat sipil untuk tak boleh menganut paham lain selain Pancasila.

"Kebijakan ini represif, dan dibenci semua ormas, tokoh, dan menjadi pemicu untuk mendirikan satu negara Islam dan menghidupkan kembali piagam Jakarta untuk menegakkan syariat Islam," terang Jones.

Baca Juga: Sains Jelaskan Isi Kepala Pelaku Bom Bunuh Diri. Apakah Terkait Agama?

Karena represivitas Suharto pada kaum Muslim—terlebih peristiwa Tanjung Priok pada 1984—para penggagas negara Islam di Indonesia itu mulai mencari dana pelatihan.

"Mereka mendapatkan dana lewat Muhammad Natsir supaya orang-orang bisa ke Afghanistan, atau perbatasan Afghanistan-Pakistan," ungkapnya.

Salah satu tokoh yang melakukan pelatihan di Afghanistan ini adalah Ustaz Basri. Nama itu mencuat setelah pengeboman di Makassar pada 2002. Setelah kembali dari Afghanistan pun dia memberikan pelatihan kepada anggota di Sulawesi Selatan.

Ustaz Basri mencari dana untuk kelompok yang berseteru di Poso, dan memimpin pembaitan massal terhadap ISIS yang diungkap kepolisian pada Januari 2015.

 

Pasca Orde Baru

Tekanan ideologis oleh pemerintah Orde Baru ternyata berbuah meledaknya euforia gagasan penegakan syariat Islam pada awal era Reformasi lewat berbagai aksi terorisme.

"Peristiwa Tanjung Periok tanpa tekanan itu, banyak metode Orde baru untuk menindas gerakan Islam. Mereka terpaksa berjalan di bawah tanah, dan muncul secara cepat setelah Suharto turun," ujar Greg Fealy.

Ketika Suharto turun, peristiwa itu mencuat lewat konflik Poso (1998), hingga Bom Bali 1 dan Bom Makassar (2002).

Peristiwa 'meledak' ini juga disebabkan oleh fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden pada Februari 1998. Fatwa itu, menurut Jones, seperti pendirian kekuatan Islam di seluruh dunia untuk melawan dunia.

"Fenomena ini jadi penting untuk kita lihat gerakan-gerakan [terorisme] selanjutnya," ia menambahkan. Gerakan itu selanjutnya mulai berkoordinasi dengan kalangan mancanegara seperti ISIS.

Baca Juga: Studi Ungkap Psikologi Pelaku Bom Bunuh Diri, Ternyata Mirip Tentara

Dalam proses hubungan pihak di luar negeri, ada yang sedikit menarik di mata Sidney Jones. Yakni, pada masa Orde Baru, orang yang melakukan pelatihan ke Afghanistan umumnya dilakukan segelintir orang untuk beberapa periode hingga kembali ke Indonesia.

Pola ini berbeda dengan masa kini yang berpergian ke Suriah dengan mengajak keluarganya, dan tak mau kembali ke tanah air.

"Karena waktu ke Afghan, [mereka] ingin mendapat keterampilan dan membawa pulang untuk melawan Suharto di Indonesia. Mereka ke sana karena tidak setuju dengan apa yang dilakukan Suharto di Indonesia," kata Jones.

"Tapi kalau di ISIS, tidak berangkat karena tidak senang [dengan yang] terjadi di Indonesia. Mereka datang karena khilafah—tinggal di suatu negara yang syariat diterapkan secara penuh."