Jadi Pahlawan dan Hari Lahirnya Dirayakan, Apa Keistimewaan Kartini?

By Utomo Priyambodo, Rabu, 21 April 2021 | 09:47 WIB
Roekmini dan Kartini, dua dari delapan bersaudara. Mereka adalah buah hati dari R.M. Samingoen dan R.Ay. Ngasirah (garwa ampil). Kehidupan Kartini begitu singkat, namun pemikirannya jauh melampaui orang-orang semasanya. (KONINKLIJK INSTITUUT VOOR TAAL-, LAND- EN VOLKENKUNDE)

Kartini, hanya dengan nama itu ia mau dipanggil, sebenarnya hanyalah seorang perempuan Jawa biasa yang kebetulan dilahirkan di keluarga bangsawan. Gagasan yang ia milikilah yang menjadikan sejarah mengenangnya sebagai sosok luar biasa. Gagasan dan pemikirannya itu terekam dengan baik dalam surat-suratnya.

Sebagai seorang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini memang beruntung bisa mengenyam pendidikan, meski masih dalam keterbatasan. Pendidikan tersebut membuatnya mampu baca-tulis, bahkan dalam bahasa Belanda.

Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV dari Demak, juga dikenal sebagai bangsawan yang terbuka terhadap peradaban Barat. Sikap terbuka ini juga diwariskan ayah Kartini, yang menyebabkan Kartini muda dapat berinteraksi dengan beberapa orang Belanda.

National Geographic Indonesia sebelumnya penah mencatat, salah satu orang Belanda yang berpengaruh dalam hidup Kartini adalah Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah. Ovink-Soer menjadi sahabat Kartini untuk mencurahkan hati akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi. Berkat Ovink-Soer, Kartini mengenal gerakan feminisme di Belanda sejak usia 20 tahun.

Ovink-Soer mengenalkan Kartini pada jurnal beraliran feminisme De Hollandshce Lelie. Di jurnal itulah perempuan kelahiran 21 April 1879 itu menulis keinginannya memiliki sahabat pena dari negeri Belanda.

Baca Juga: Martha Tiahahu, Perempuan yang Jadi Panglima Perang di Usia 17 Tahun

 

Keinginan Kartini bersambut. Pegawai pos bernama Estella Zeehandelar pun menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini. Korespondensi Kartini dengan Stella membuat pikirannya makin terbuka. Tulisan Kartini dalam surat-suratnya pun menjadi rekaman pemikiran dan gagasan Kartini yang dianggap luar biasa.

Dalam surat-suratnya, Kartini dapat bercerita tentang kondisi perempuan seperti dirinya yang merasa terkekang, bahkan tanpa bisa memilih masa depannya sendiri. Kartini pun bercerita mengenai banyak hal, tentang bangsanya yang menderita karena penjajahan, keresahannya mengenai agama, hingga kepeduliannya akan pendidikan.

Sejumlah buku pun dibahas Kartini bersama Stella dalam surat-suratnya. Misalnya untuk bercerita mengenai kondisi mengenaskan Bumiputera yang dijajah, Kartini mengambil buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai referensi.

Kartini tak cuma menulis surat-surat kepada Ovink-Soer dan Stella. Kartini juga menulis surat kepada sejumlah sahabat lain, salah satunya Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Kelak, JH Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (1911). Buku itu diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane pada 1939 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku terbitan Balai Pustaka inilah yang kemudian menjadikan nama Kartini besar dan dicatat oleh sejarah sampai sekarang.

Baca Juga: Hajjah Rangkayo Rasuna Said, 'Singa Betina' yang Hidup di Tiga Masa

Raden Ajeng Kartini. ()