Nationalgeographic.co.id—Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Setiap tahun selalu saja ada spesies baru yang ditemukan di bumi pertiwi ini. Setidaknya ada delapan spesies tumbuhan baru dari belantara Indonesia menjadi penemuan dua peneliti dari Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di sepanjang 2020.
Salah satu peneliti, Destario Metusala, mengatakan penemuan ini merupakan hasil penelitian kolaborasi bersama berbagai pihak mulai dari akademisi, peneliti dalam dan luar negeri, filantropis lingkungan, hingga staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Penelitian bersama mereka itu setidaknya telah menghasilkan empat publikasi untuk spesies tumbuhan baru, yakni Bulbophyllum acehense, Dendrobium rubrostriatum, Nepenthes putaiguneung, dan Dendrobium sagin.
Peneliti dair Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya LIPI lainnya, Wisnu Handoyo Ardi, juga telah memublikasikan laporan penemuan empat spesies baru lain, yakni Begonia enoplocampa, Begonia tjiasmantoi, Begonia sidolensis, dan Etlingera tjiasmantoi. Laporan penemuan spesies-spesies baru tumbuhan unik dari Indonesia itu telah diterbitkan di jurnal ilmiah nasional maupun internasional di sepanjang 2020.
Penemuan delapan spesies tumbuhan baru ini tejadi di waktu dan lokasi yang berbeda. Menurut Destario, tidak semua dari tumbuhan tersebut yang peneliti LIPI temukan langsung di alam. Sebab, ada pula tumbuhan yang merupakan hasil penemuan BKSDA yang kemudian diteliti bersama-sama.
"Tujuh dari delapan spesies tampaknya hanya tersebar di area yang relatif sempit, sehingga diduga lebih rentan terhadap ancaman kepunahan seandainya terjadi degradasi habitat maupun overcollecting," kata Destario, seperti dikutip dari ANTARA.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Makhluk Aneh yang Hidup di Bawah Lapisan Es Antartika
Destario menjelaskan satu per satu tumbuhan yang ia temukan. Bulbophyllum acehense adalah spesies tumbuhan anggrek epifit yang tumbuh alami di pegunungan hutan Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Anggrek tersebut memiliki perbungaan tunggal yang bermunculan dari bagian ruas-ruas rhizomenya.
Bunganya berwarna kuning cerah mengkilap berlilin dengan corak halus garis-garis kuning yang lebih pekat. Walaupun ukuran bunganya hanya berkisar 1,7-2 sentimeter, bunga ini memiliki bentuk unik yang mana bagian lateral sepalnya terpilin kuat ke belakang.
Spesies anggrek baru yang hasil penelitiannya sudah terbit di jurnal nasional Biologi Tropis itu, menurut Destario, memiliki keunikan pada bagian bibir bunganya yang menekuk tajam ke bawah seperti pengait. Epithet spesies menggunakan nama Provinsi Aceh sebagai petunjuk bahwa kawasan Aceh memiliki keunikan diversitas anggrek yang tinggi.
Selanjutnya Dendrobium rubrostriatum juga merupakan anggrek epifit yang tumbuh menempel di kulit batang pepohonan. Susunan daunnya berevolusi secara unik membentuk seperti gergaji pipih dengan panjang total hingga mencapai 43 sentimeter.
Sepal petal bunga berwarna dasar krem dengan garis-garis memanjang merah keunguan. Spesies baru itu ditemukan di hutan dataran rendah Kalimantan Barat pada ketinggian 200-300 meter.
Dendrobium rubrostriatum adalan tumbuhan endemik Pulau Kalimantan. Sebarannya diduga dari Kalimantan Barat, Sarawak, hingga ujung utara pulau yaitu di Sabah. Menurut Destario, penelitian yang publikasinya terbit di jurnal internasional Phytotaxa itu memerlukan waktu panjang hingga enam tahun lamanya demi memperoleh data-data spesies pembanding yang akurat.
Lalu ada Nepenthes putaiguneung yang merupakan jenis tumbuhan karnivora yang lebih akrab disebut dengan nama tumbuhan kantung semar atau periuk monyet. Indonesia merupakan salah satu gudang pusat keanekaragaman spesies tumbuhan Nepenthes di dunia. Setidaknya sekitar 75 spesies tumbuhan Nepenthes tumbuh di seluruh kepulauan Indonesia, tapi sebagian besar berada di kawasan Pulau Sumatra.
Penelitian Nepenthes yang menghasilkan jurnal ilmiah baru tersebut merupakan kolaborasi dengan Dee Dee Al Farishy, yang saat itu sebagai mahasiswa biologi Universitas Indonesia, di mana Destario menjadi salah satu pembimbingnya. Penelitian berlangsung selama enam tahun sejak 2014 untuk memastikan perbandingan data morfologi dilakukan secara cermat dan akurat.
Nama epithet “putai guneung” berasal dari bahasa lokal Kerinci, yaitu “putai” (puteri) dan “guneung” (gunung) yang merujuk dari keanggunan sosok spesies dataran tinggi itu yang menyerupai puteri gunung. Spesies baru tersebut diduga endemik Pulau Sumatra dan memerlukan perlindungan khusus dari perubahan habitat serta ancaman pengkoleksian tak terkendali. Penelitian ini berkolaborasi pula dengan peneliti dari Inggris dan diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.
Baca Juga: 'Peta Kehidupan' Baru: Indonesia Punya Banyak Hewan Tak Dikenal
Selanjutnya, Dendrobium sagin merupakan anggrek spesies baru berbunga indah dari hutan alami di Papua Barat. Penelitian spesies ini merupakan hasil kolaborasi Destario dengan Reza Saputra selaku penulis utama.
Menurut Destario, Reza adalah staf pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat. Reza juga pernah menjadi mahasiswa biologi Universitas Indonesia dan pernah dibimbing Destario.
Meskipun Dendrobium sagin berbunga indah dan berwarna cerah, masa mekar bunga anggrek itu tidak bertahan lama. Bunga ini hanya mekar sekitar 1-2 hari.
Nama epithet “sagin” diambil dari bahasa lokal suku Moi di Papua Barat yang memiliki arti “rambut”, yaitu merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunganya. Penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Untuk Begonia enoplocampa, spesies ini hanya dijumpai di Pulau Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tumbuhan tersebut, menurut Wisnu Handoyo, mudah dikenali dengan batang yang berupa rhizome dan daun berbentuk bundar telur melebar dengan tepian daun bergigi hingga bercangap.
Nama spesies baru Begonia tersebut diambil dari Bahasa Yunani, yaitu énoplos (νοπλος=senjata, bersenjata) dan kámpë (κμπη=ulat), merujuk pada karakter rhizome dan daun penumpunya dengan rambut yang bercabang-cabang, yang jika diperhatikan saksama akan sangat mirip dengan ulat hijau berduri yang gatal. Penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa, kata Wisnu.
Adapun Begonia tjiasmantoi merupakan spesies endemik pulau Sulawesi. Spesies itu hanya dapat ditemukan di wilayah kabupaten Mamasa, Provinsi Sulawesi Barat.
Tumbuhan tersebut adalah salah satu Begonia yang terunik di Sulawesi karena memiliki kombinasi karakter yang jarang ditemukan di spesies Begonia lainnya di Sulawesi. Tumbuhan ini berperawakan kecil dengan tinggi hanya sekitar 15 sentimeter dan daun berbentuk elips dengan warna kecoklatan disertai hijau terang pada permukaan atas daunnya.
Sayangnya keberadaan spesies endemik itu semakin terancam karena habitatnya yang sebagian besar telah dikonversi menjadi perkebunan kopi. Nama spesies ini diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Penelitian ini diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan
Lalu Begonia sidolensis merupakan spesies endemik Sulawesi Tengah. Tumbuhan hanya dapat dijumpai di sekitar kawasan puncak Gunung Sidole, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
Spesies itu merupakan salah satu hasil kolaborasi penelitian dengan Eka Putri Dayanti. Eka adalah mahasiswi Universitas Tadulako yang saat itu tengah mengerjakan tugas akhirnya yaitu tentang ekologi Begonia di Gunung Sidole.
Spesies tersebut, menurut Wisnu, sangat berbeda dengan spesies-spesies Begonia lainnya di Sulawesi dikarenakan memiliki beberapa karakter unik. Tumbuhan ini memiliki ciri perawakan kecil dengan batang yang tumbuh menjalar di atas permukaan tanah dan daun kecil berbentuk bundar telur berwarna kemerahan disertai bercak atau semburat berwarna hijau keperakan.
Tumbuhan ini juga memiliki bunga berwarna merah muda dan berukuran relatif besar jika dibandingkan dengan proporsi ukuran daunnya. Nama epithet spesies ini menggunakan nama gunung dimana spesies ini tumbuh dan ditemukan, yaitu Gunung Sidole. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.
Adapun Etlingera tjiasmantoi merupakan salah satu spesies dari suku jahe-jahean (Zingiberaceae) yang saat ini hanya ditemukan di hutan pegunungan wilayah Tentena, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Spesies tersebut, kata Wisnu, merupakan salah satu hasil temuan dari kegiatan ekspedisi Sulawesi yang dilakukan pada awal 2020 sebelum merebaknya pandemi di Indonesia.
Spesies baru itu dideskripsi bersama peneliti Zingiberaceae dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Marlina Ardiyani. Spesies Etlingera tjiasmantoi terlihat mirip dengan kerabatnya Etlingera flexuosa, namun dapat dengan mudah dibedakan pada tangkai anak daunnya yang lebih panjang dan buahnya yang berbentuk bulat telur sungsang dan tidak berduri.
Nama spesies itu, ia mengatakan, diberikan sebagai penghargaan kepada filantropis lingkungan Wewin Tjiasmanto dari Yayasan Konservasi Lahan Basah atas dukungannya terhadap pelestarian flora di Indonesia. Hasil penelitiannya diterbitkan di jurnal nasional Reinwardtia.
Wisnu mengatakan berbagai temuan spesies baru tersebut adalah salah satu bukti nyata bahwa pelosok belantara hutan Indonesia masih menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum terkuak oleh ilmu pengetahuan. Tak hanya kaya oleh keanekaragaman tumbuhan, tapi juga keanekaragaman hewan.
Sebelumnya, baru-baru ini, tim peneliti Yale University di Amerika Serikat sembat membuat "peta kehidupan" baru yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diyakini memiliki banyak hewan tak dikenal. Brasil, Indonesia, Madagaskar, dan Kolombia diperkirakan memiliki paling banyak spesies vertebrata yang belum ditemukan.
Keempat negara ini berpotensi mewakili seperempat dari semua penemuan di masa depan, dengan lingkungan hutan berdaun lebar dengan iklim lembab tropis mereka diperkirakan menyumbang sekitar setengah dari yang tidak diketahui ini. Meskipun demikian, kita hanya akan dapat menemukan spesies-spesies itu di masa depan jika kita mempercepat pencarian kita. "Dan bukan hanya menemukan vertebrata, kemungkinan besar kita juga bisa menemukan spesies invertebrata, tumbuhan, maupun hewan laut," kata tim peneliti tersebut.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon