Oksigen di Planet Lain Bukan Berarti Tanda Kehidupan di Luar Angaksa

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 22 April 2021 | 12:00 WIB
Ilustrasi seniman dari eksoplanet yang berpotensi untuk dihuni. Dari kiri ke kanan: Kepler-22b, Kepler-69c, Kepler-452b, Kepler-62f and Kepler-186f. Yang terakhir adalah Bumi. (NASA/Ames/JPL-Caltech)

Skenario 2

Para peneliti menyebutnya sebagai planet 'dunia air' yang berisi 10 hingga 230 kali lebih banyak air dari yang dimiliki bumi saat ini. Dalam kondisi ini, siklus oksigen dianggap pada dasarnya tidak ada, meski terjadi di Bumi lewat aktivitas kehidupan.

Tekanan dari lautan luas di kerak planet kemudian menghentikan aktivitas geologis yang diperlukan, lalu mendaur ulang oksigen untuk kemudian terperangkap di atmosfer.

Skenario 3

Dalam skenario terakhir ini, planet itu disebut 'dunia gurun' oleh para peneliti. Kondisinya sangat berlawanan dengan 'dunia air' karena sangat sedikit memiliki air atau kurang dari sepertiga yang dimiliki Bumi.

Dalam kondisi itu, permukan cair planet yang baru terbentuk dapat membeku. Sementara pasokan air yang terbatas masih ditemukan hanya sebagai uap di atmosfer. 

Seperti skenario pertama, sinar ultraviolet pun memecah air menjadi hidrogen dan oksigen. Tetapi berkat pembekuan, oksigen tak terserap dalam kerak planet dan hanya ada di atmosfer.

"Dalam skenario mirip Venus ini, semua volatil dimulai di atmosfer dan sedikit yang tertinggal di mantel untuk dilepaskan dan membersihkan oksigen," papar Krissansen-Totton.

Baca Juga: Fenomena Super Pink Moon Akan Hiasi Salah Satu Malam Ramadan Ini

 

 

 

Ada pula pendapat lain mengapa penemuan oksigen di planet lain tidak berarti memiliki kehidupan di dalamnya. Pendapat itu diungkapkan ahli astrobiologi dari Lunar and Planetary Institute, Kennda Lynch.

"Eksperimen yang kita desain, dirancang untuk kehidupan yang kita kenal--pandangan terbatas akan kehidupan yang sama seperti di Bumi," ujarnya di dalam dokumenter Vox.

Ia berpendapat, mungkin untuk bisa menemukan kehidupan di luar angkasa, ilmuwan harus mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi kehidupan berdasarkan unsur yang tak dikenal di Bumi.

"Bisa jadi kita masih ketinggalan [untuk menemukan mereka]," ucapnya.

Merujuk kembali pada temuan terbaru yang dilakukan Krissansen-Totton dan tim, temuan lewat simulasi ini menjadi masukkan bagi para astronom untuk berhati-hati mendeteksi kehidupan lewat molekul. Karena molekul lain bisa berdampak pada pembentukkan oksigen.

Di sisi lain, para pengamat kehidupan di luar angkasa meyakini bahwa akhir 2030-an, astronom dapat memiliki teleskop yang rinci menggambarkan spektrum planet yang berpotensi menampung kehidupan.