Nationalgeographic.co.id—Abad ke-20 menjadi waktu perkembangan teknologi besar untuk melakukan eksplorasi pengetahuan, terutama tentang adanya kehidupan nun jauh di angkasa luar.
Mengungkap keberadaannya masih kelabu bagi kita, bahkan para ilmuwan sendiri. Meski penjelajahan sudah dilakukan, dan kerap menemukan beberapa planet di luar sana yang mengandung oksigen. Hasilnya pun masih nihil.
Alasannya, berdasarkan studi baru yang diterbitkan di AGU Advances, Selasa (13/04/2021), menganggap oksigen sebagai unsur penciptaan kehidupan adalah sangat menyesatkan. Sebab, meski di Bumi oksigen diproduksi oleh makhluk hidup, nyatanya gas ini bisa terbentuk tanpa kehidupan.
Baca Juga: Ilmuwan: Galaksi Kita Memiliki Lebih dari 30 Peradaban di Luar Bumi
Oksigen sering dijadikan tanda tempat tinggal kehidupan biologis karena dibutuhkan untuk fotosintesis. Sehingga kerap dijadikan kandidat kuat untuk menampung kehidupan di luar sana oleh banyak ilmuwan.
Studi yang dipimpin oleh Joshua Krissansen-Totton dari UC Santa Cruz membuktikannya dengan pengembangan model penciptaan planet beroksigen. Lewat model itu, tim penelitian mencoba berbagai variabel yang dapat mempengaruhi pembentukkan planet.
Serangkaian model komputasi ini membentuk evolusi planet dari bentuk gas, lelehan batu, hingga miliaran tahun pendiginan dan siklus geokimianya.
Dari hasil percobaan itu, mereka menetapkan tiga seknario dimana oksigen di atmosfer planet mirip Bumi bisa terbentuk, tanpa atau ada kehidupan di dalamnya.
Baca Juga: Departemen Pertahanan AS Pastikan Video UFO 'Berbentuk Piramida' Nyata
"Ini berguna karena menunjukkan ada cara untuk mendapatkan oksigen di atmosfer tanpa kehidupan, tetapi ada pengamatan lain yang dapat Anda lakukan untuk membantu membedakan positif palsu ini dari yang sebenarnya," kata Joshua Krissansen-Totton, dikutip dari Eurekalert.
"Untuk setiap skenario, kami mencoba mengatakan apa yang perlu dilakukan lewat teleskop untuk membedakannya dari oksigen biologis."
Skenario 1
Skenario ini menampilkan planet ekstrasurya yang tingkat karbondioksida dan air yang sangat tinggi di atmosfer. Lewat kondisi ini, efek gas rumah kaca yang kuat menandakan tidak akan memiliki air di permukaanya.
Ketika terpapar sinar ultraviolet, uap air di atmosfer bagian atas bisa pecah sewaktu-waktu dan menjadi hidrogen dan oksigen. Hasilnya, gas hidrogen yang massanya ringan bisa menguap ke luar angkasa, dan gas oksigen yang lebih berat tetap di planet.
Skenario 2
Para peneliti menyebutnya sebagai planet 'dunia air' yang berisi 10 hingga 230 kali lebih banyak air dari yang dimiliki bumi saat ini. Dalam kondisi ini, siklus oksigen dianggap pada dasarnya tidak ada, meski terjadi di Bumi lewat aktivitas kehidupan.
Tekanan dari lautan luas di kerak planet kemudian menghentikan aktivitas geologis yang diperlukan, lalu mendaur ulang oksigen untuk kemudian terperangkap di atmosfer.
Skenario 3
Dalam skenario terakhir ini, planet itu disebut 'dunia gurun' oleh para peneliti. Kondisinya sangat berlawanan dengan 'dunia air' karena sangat sedikit memiliki air atau kurang dari sepertiga yang dimiliki Bumi.
Dalam kondisi itu, permukan cair planet yang baru terbentuk dapat membeku. Sementara pasokan air yang terbatas masih ditemukan hanya sebagai uap di atmosfer.
Seperti skenario pertama, sinar ultraviolet pun memecah air menjadi hidrogen dan oksigen. Tetapi berkat pembekuan, oksigen tak terserap dalam kerak planet dan hanya ada di atmosfer.
"Dalam skenario mirip Venus ini, semua volatil dimulai di atmosfer dan sedikit yang tertinggal di mantel untuk dilepaskan dan membersihkan oksigen," papar Krissansen-Totton.
Baca Juga: Fenomena Super Pink Moon Akan Hiasi Salah Satu Malam Ramadan Ini
Ada pula pendapat lain mengapa penemuan oksigen di planet lain tidak berarti memiliki kehidupan di dalamnya. Pendapat itu diungkapkan ahli astrobiologi dari Lunar and Planetary Institute, Kennda Lynch.
"Eksperimen yang kita desain, dirancang untuk kehidupan yang kita kenal--pandangan terbatas akan kehidupan yang sama seperti di Bumi," ujarnya di dalam dokumenter Vox.
Ia berpendapat, mungkin untuk bisa menemukan kehidupan di luar angkasa, ilmuwan harus mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi kehidupan berdasarkan unsur yang tak dikenal di Bumi.
"Bisa jadi kita masih ketinggalan [untuk menemukan mereka]," ucapnya.
Merujuk kembali pada temuan terbaru yang dilakukan Krissansen-Totton dan tim, temuan lewat simulasi ini menjadi masukkan bagi para astronom untuk berhati-hati mendeteksi kehidupan lewat molekul. Karena molekul lain bisa berdampak pada pembentukkan oksigen.
Di sisi lain, para pengamat kehidupan di luar angkasa meyakini bahwa akhir 2030-an, astronom dapat memiliki teleskop yang rinci menggambarkan spektrum planet yang berpotensi menampung kehidupan.