Ada Studi Genetik Badak Sumatra. Hasilnya, Kabar Baik Populasi Mereka

By Fikri Muhammad, Selasa, 27 April 2021 | 16:30 WIB
Seekor badak Sumatera jantan muda bernama Kertam, yang genomnya diurutkan dalam penelitian baru menemukan bahwa dua populasi kecil yang tersisa dari spesies tersebut menjaga kesehatan genetik yang baik, terlihat di pulau Kalimantan dalam foto selebaran yang tidak bertanggal ini. (Scuba Zoo/Handout via REUTERS)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi genom yang melibatkan populasi terakhir badak Sumatra—penghuni hutan hujan soliter—memberikan apa yang oleh para ilmuwan disebut kabar baik tentang prospek menyelamatkan spesies ini dari kepunahan.

Para peneliti mengatakan pada Senin lalu dalam studi, bahwa mereka menemukan dua populasi badak liar yang ada di Pulau Kalimantan dan Sumatra ini memiliki kesehatan genetik yang baik dan tingkat perkawinan sedarah yang rendah.

Dalam perkiraan, hanya sekitar 80 badak yang tersisa setelah populasi terpisah di Semenanjung Malaysia punah dalam beberapa tahun terakhir. 

"Dengan ukuran populasi yang begitu kecil, temuan ini adalah kabar baik bagi kami," kata Nicolas Dussex, peneliti postdoctoral di Center for Palaeogenetics dikutip Reuters dari jurnal Nature Communications.

Baca Juga: Aubameyang dan Keluarga Beri Makan Harimau di Kebun Binatang Inggris

Para peneliti mengurutkan genom tujuh badak dari Kalimantan, delapan dari Sumatra dan enam dari populasi Semenanjung Malaya yang dianggap punah sejak 2015.

Badak Sumatra merupakan yang terkecil dari lima spesies badak di dunia, dengan berat sekitar 1.540 hingga 1.760 pon. Penghuni hutan hujan yang sulit ditangkap, spesies badak yang paling vokal, tetap menyendiri kecuali untuk kawin dan membesarkan keturunan. 

Perburuan dan perusakan tempat tinggal oleh manusia telah menghancurkan populasinya, dengan jumlahnya turun sekitar 70% selama dua dekade terakhir. 

Seorang penjaga menyemprotkan air ke Torgamba, badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) berusia 30 tahun di Suaka Badak Sumatera (SRS) di Taman Nasional Way Kambas, provinsi Lampung 20 Mei 2010 (REUTERS/Supri)

"Dalam hal kelangsungan hidup jangka panjang suatu spesies, keragaman genetik adalah salah satu faktor kunci, karena hal ini memungkinkan adaptasi terhadap perubahan lingkungan dan penyakit di masa depan," kata Johanna von Seth, mahasiswa doktoral Center for Palaeogenetics kepada Reuters. "Jadi, fakta bahwa masih banyak keanekaragaman yang tersisa sangat menjajikan jika kita bisa mempertahankannya, tentunya dengan asumsi kita juga bisa mengurangi dampak faktor non-genetik."

Baca Juga: Jelang 400 Tahun Kastel Batavia, Arkeolog Menyingkap Satu Bastionnya

Para peneliti mengatakan langkah-langkah seeperti mentranslokasi badak untuk kawin atau menggunakan inseminasi buatan dapat memungkinkan pertukaran gen yang menguntungkan antara populasi Kalimantan dan Sumatra.

Spesies ini telah menunjukan keberhasilan reproduksi yang rendah di penangkaran dan menghadapi risiko kawin sedarah yang tinggi - kawin dengan kerabat dekat - di alam liat karena jumlahnya yang kecil.

Perkawinan sedarah menciptakan risiko tinggi cacat genetik dan berkurangnya keragaman genetik, Para ilmuwan khawatir bahwa laporan tumor dan kesuburan yang rendah di antara badak-badak ini adalah bukti dari populasi kawin yang berbahaya.

"Penting untuk diingat bahwa badak Sumatra masih di ambang kepunahan karena faktor non-genetik," kata Love Dalen, profesor genetika evolusioner Center for Palaeogenetics di laman Reuters.

"Jadi haeapan, meski kecil, hasil ini menawarkan bahwa jika kita berhasil menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh perusahaan habitat dan perburuan, setidaknya ada kemungkinan bahwa para penyintas tidak akan binasa oleh status genetik mereka yang buruk," tambah Dalen.